Meninggalkan Kenyamanan untuk Mengubah Dunia
Tidak banyak orang yang berani meninggalkan puncak kesuksesan demi mendedikasikan hidupnya untuk kepentingan orang lain yang tidak dikenal, dimana ia tahu bahwa ia dapat melakukan sesuatu untuk memberikan hidup yang lebih baik bagi orang lain tersebut.
Pada umur 35 tahun, John Wood, Direktur Pemasaran Microsoft untuk wilayah Asia Pasifik, sedang berada di puncak karirnya. Pekerjaannya di perusahaan besar yang prestisius itu sangat menjanjikan. Ia mengalami apa yang disebut kebe
basan finansial. Mulai dari tagihan apartemen mewahnya, fasilitas kendaraan mewah serta sopir yang siap melayaninya selama 24 jam, sampai penerbangan kelas satu keliling dunia disediakan oleh perusahaan. Semua tampak memuaskan, dia juga menyukai pekerjaannya. Namun, kehidupannya hanya berkutat dengan persaingan dan bekerja selama berjam-jam. Dia bahkan tidak mempunyai waktu untuk dirinya sendiri. Perusahaan dapat mengandalkannya, tetapi tidak keluarganya. Setelah 9 tahun bekerja tanpa henti, John mengambil liburan selama 18 hari ke pedalaman Nepal. Ia hanya ingin melepaskan diri dari hiruk pikuk pekerjaan, rapat, dering telepon, email, dan segala macam bentuk peradaban teknologi. Tanpa ia tahu bahwa perjalanan ini akan mengubah seluruh kehidupannya.
Pendakiannya di tengah pegunungan Himalaya, terhenti di sebuah sekolah terpencil dengan 450 siswa serta perpustakaan yang dihiasi sebuah peta dunia usang dan 20 buku di lemari kaca bergembok, yang merupakan satu-satunya harta berharga milik mereka. Sayangnya, buku-buku itu adalah “buangan” turis-turis yang mendaki sebelumnya, seperti buku-buku novel dewasa yang sama sekali tidak layak untuk dibaca murid-murid sekolah. John Wood memperhatikan ruangan yang disebut perpustakaan itu dengan wajah prihatin. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana anak-anak bisa belajar tanpa buku. Sebagai orang yang sejak kecil sangat suka membaca, John mengerti betul manfaat yang bisa didapat dari sebuah buku dan betapa pentingnya buku bagi pendidikan. Orang tua John yang hidupnya sangat sederhana tidak mampu membelikannya buku-buku baru, karena itu mereka menghadiahkan sebuah sepeda pada hari Natal agar John dapat pergi ke perpustakaan setiap minggu. Peraturan di perpustakaan itu hanya boleh membawa 10 buku untuk sekali pinjam, namun John berhasil meyakinkan petugas perpustakaan sehingga ia bisa membawa 12 buku untuk sekali pinjam.
Kepala Sekolah di Nepal di mana John berkunjung melihat raut prihatin di wajah John, beliau kemudian berkata, “Barangkali, Pak, suatu hari Anda akan kembali dengan membawa buku-buku”. Diliputi keprihatinan, John berjanji akan kembali tahun depan dengan membawa 200-300 buku. Seorang guru meragukan kesanggupannya dan berkata,” Banyak pejalan kaki datang melalui daerah ini dan berjanji akan membantu kami. Tetapi, mereka tidak pernah kembali dan kami tidak mendengar kabar mereka lagi.” Namun John berkata bahwa ia akan setia dengan janjinya. Janji John pada akhirnya membawa arah kehidupan baru baginya.
Sepulangnya dari Nepal, John segera mengirim email kepada 100 temannya untuk membantunya mengumpulkan buku-buku bekas layak baca. Sementara ia melanjutkan pekerjaannya di Cina, buku-buku itu dikumpulkan di Coloroda, tempat kediaman orang tuanya. Suatu hari dia memperoleh email dari ayahnya yang mengabarkan telah terkumpul hampir 3000 buku, garasinya sudah tidak muat untuk menampung buku-buku lagi. Lebih dari yang dia bayangkan, karena dia mengira hanya akan mampu mengumpulkan 100-200 buku saja. Lalu, dikirimlah 37 kotak buku ke Nepal seberat 967 pon. Beberapa bulan kemudian, berdua saja dengan ayahnya, John pergi ke Nepal. Mereka menyewa 8 keledai, mendaki jalan terjal berliku-liku untuk mengantarkan buku-buku tersebut ke sekolah yang pernah dikunjunginya tahun lalu. Para guru, siswa bahkan warga desa menyambut gembira kedatangan mereka. Para siswa memandang takjub isi buku yang penuh warna pemberian John, bahkan mereka belum pernah melihat buku anak-anak seperti itu sebelumnya. Perjalanan itu tidak hanya membawa John menemukan panggilan hidupnya, tetapi juga memulihkan hubungannya dengan ayahnya yang selama ini kurang komunikasi.
Melihat wajah anak-anak yang berbinar membuat John berpikir untuk lebih fokus terhadap proyek yang lebih berharga dan bermakna ini. John merasa sudah saatnya harus segera melakukan perubahan dalam hidupnya. John mulai mencari tahu apakah ia mampu meninggalkan pekerjaannya, karena ia membutuhkan uang yang banyak untuk mengerjakan proyek ini dan untuk membiayai hidupnya. Apalagi setelah ia menyadari bahwa tabungannya hanya akan cukup untuk menghidupinya selama 5 tahun dan kenyataan bahwa selama ini Microsoft-lah yang membayar uang sewa apartemennya. Dia segera menghibur hatinya dengan berkata,” Apa baiknya memiliki tabungan jika kamu tidak bisa menggunakannya untuk mendanai impian-impianmu.” John berusaha memikirkan pekerjaan baru yang bisa membuatnya tetap mempunyai waktu untuk proyeknya. Sempat terpikirkan olehnya untuk menjadi seorang bartender. Masalahnya, bagaimana dengan kehidupan sosialnya? Di Amerika, dalam suatu pertemuan sosial manapun, pertanyaan yang pertama kali muncul adalah, “Apa pekerjaan Anda?”. Dia mulai merasa sangat sedih dan malu ketika mendapati dirinya mengandalkan label untuk menentukan identitas diri. Teringat akan kata-kata ayahnya, “... Jangan lakukan apapun untuk menyenangkan kami. Lakukan yang menurut kamu tepat untuk dilakukan dan biasakan menjawab hanya pada dirimu sendiri”. John merasa dikuatkan. “Sudah saatnya berhenti menimbang-nimbang. Saya tahu apa yang saya inginkan. Di masa lalu, saya selalu bersumpah untuk melakukan lebih banyak amal. Saya biasanya gagal, pekerjaanlah yang menang. Kali ini saya bersumpah, pekerjaan tak akan menang.”
Akhirnya dengan kebulatan tekad dan tanpa tahu seperti apa “kehidupan setelah Microsoft”, John melangkah pergi meninggalkan Microsoft. Dia mengucapkan selamat tinggal dengan singkat dan jelas kepada bosnya yang kaget dan kebingungan karena keputusannya tidak dapat diubah lagi. Dia
juga harus meninggalkan kekasihnya yang tidak dapat menerima pengunduran dirinya dari kehidupan yang nyaman di bawah panji Microsoft untuk masuk dalam kehidupan “memberi diri untuk orang lain”. John pun hijrah ke San Fransisco, “tempat dimana banyak orang kaya tinggal” untuk mulai menggalang dana dan jaringan bagi proyek amalnya. Sejak itu, John mendedikasikan seluruh hidupnya untuk mendirikan ribuan sekolah dan perpustakaan di negara-negara miskin. Kemudian John mendirikan organisasi nirlaba "Books for Nepal" (Buku untuk Nepal), yang kemudian menjadi “Room to Read” (Ruang Baca). Tantangannya adalah tidak berhenti mencari dana untuk melaksanakan proyek. Tidak ada dana masuk berarti tidak ada program. "Room to Read" mengembangkan model investasi bersama, di mana penduduk setempat bisa menyumbangkan bahan bangunan atau tenaga kerja, di samping dana bantuan dari "Room to Read". Model ini membuat penduduk setempat memiliki sense of belonging (rasa turut memiliki) pada perpustakaan atau sekolah yang dibangun.
Di dalam presentasi penggalangan dana, daripada membicarakan apa yang akan dilakukan, John membicarakan apa yang telah dikerjakannya. Email signature John berisi angka-angka pencapaian "Room to Read" yang diperbarui terus-menerus. Biaya operasional organisasi ditekan serendah mungkin, sehingga donatur bisa melihat bahwa dari setiap 100% dana yang disumbangkan, 90% digunakan untuk membangun perpustakaan, sekolah, lab komputer, atau beasiswa untuk anak-anak perempuan. Kemampuan John Wood dalam mengembangkan "Room to Read" sedikit banyak terasah ketika bekerja di Microsoft, dalam gemblengan Steve Ballmer (orang penting kedua di Microsoft, setelah Bill Gates tentunya) yang berorientasi pada 'data dan kinerja'. Setiap manager di Microsoft harus memahami setiap keping data hingga taraf angka-angka itu terpatri ke dalam otak mereka.
Berawal dari pengiriman email kepada teman-temannya untuk mendonasikan buku bekas, "Room to Read" telah berekspansi dari Nepal ke Vietnam, Kamboja, Laos, India, Sri Langka, Afrika Selatan dan Zambia. Setelah 8 tahun, Room to Read telah mendirikan 5.160 perpustakaan, 442 sekolah, 115 laboratorium komputer dan bahasa, memberikan 4.036 beasiswa jangka panjang untuk anak-anak perempuan, dan lebih dari 4,3 juta buku didonasikan dan diterbitkan dalam berbagai bahasa setempat. Tujuan jangka panjang mereka adalah mendirikan 20.000 sekolah dan perpustakaan yang akan mendidik 10 juta anak di negara-negara berkembang. Cabang-cabang penggalangan dana bagi "Room to Read" terus berkembang di Amerika Serikat. Cabang internasional sudah ada di Milan, Paris, Sidney, London, Hongkong.
Kini, dalam usia lebih dari 40 tahun, John Wood masih belum mempunyai rumah. Namun, ia merasa bersyukur mengenai siapa dirinya, apa yang ingin difokuskan, dan ukuran-ukuran yang diperlukan untuk menilai diri sendiri. Ia merasa puas karena kehidupannya dulu di Microsoft dan kehidupannya yang baru sekarang ini adalah satu kesatuan rangkaian. Mengutip kata-katanya, ”Tidak perlu menunggu menjadi seorang Bill Gates untuk bisa mengubah dunia, saya hanya orang biasa yang mendirikan organisasi untuk membagikan ribuan buku kepada anak-anak. Yang dibutuhkan tidak lebih dari hasrat, energi dan dorongan untuk menjalankan impian kita. Tidaklah penting jika kita memiliki kekayaan materi. Apa yang sesungguhnya penting adalah apa yang kita lakukan dengan kekayaan itu? Saya telah mencapai kesuksesan finansial pada usia muda, tetapi itu sebagian besar karena keberuntungan. Saya kebetulan bergabung dengan perusahaan yang tepat pada saat yang tepat. Fakta bahwa saya mempunyai uang tidak menjadikan saya orang yang lebih baik. Yang sungguh-sungguh penting adalah apa yang saya lakukan dengan uang itu.”
Sumber:
Leaving Microsoft to Change The World, by John Wood, Penerbit Bentang & internet
Tidak banyak orang yang berani meninggalkan puncak kesuksesan demi mendedikasikan hidupnya untuk kepentingan orang lain yang tidak dikenal, dimana ia tahu bahwa ia dapat melakukan sesuatu untuk memberikan hidup yang lebih baik bagi orang lain tersebut.
Pada umur 35 tahun, John Wood, Direktur Pemasaran Microsoft untuk wilayah Asia Pasifik, sedang berada di puncak karirnya. Pekerjaannya di perusahaan besar yang prestisius itu sangat menjanjikan. Ia mengalami apa yang disebut kebe
basan finansial. Mulai dari tagihan apartemen mewahnya, fasilitas kendaraan mewah serta sopir yang siap melayaninya selama 24 jam, sampai penerbangan kelas satu keliling dunia disediakan oleh perusahaan. Semua tampak memuaskan, dia juga menyukai pekerjaannya. Namun, kehidupannya hanya berkutat dengan persaingan dan bekerja selama berjam-jam. Dia bahkan tidak mempunyai waktu untuk dirinya sendiri. Perusahaan dapat mengandalkannya, tetapi tidak keluarganya. Setelah 9 tahun bekerja tanpa henti, John mengambil liburan selama 18 hari ke pedalaman Nepal. Ia hanya ingin melepaskan diri dari hiruk pikuk pekerjaan, rapat, dering telepon, email, dan segala macam bentuk peradaban teknologi. Tanpa ia tahu bahwa perjalanan ini akan mengubah seluruh kehidupannya.
Pendakiannya di tengah pegunungan Himalaya, terhenti di sebuah sekolah terpencil dengan 450 siswa serta perpustakaan yang dihiasi sebuah peta dunia usang dan 20 buku di lemari kaca bergembok, yang merupakan satu-satunya harta berharga milik mereka. Sayangnya, buku-buku itu adalah “buangan” turis-turis yang mendaki sebelumnya, seperti buku-buku novel dewasa yang sama sekali tidak layak untuk dibaca murid-murid sekolah. John Wood memperhatikan ruangan yang disebut perpustakaan itu dengan wajah prihatin. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana anak-anak bisa belajar tanpa buku. Sebagai orang yang sejak kecil sangat suka membaca, John mengerti betul manfaat yang bisa didapat dari sebuah buku dan betapa pentingnya buku bagi pendidikan. Orang tua John yang hidupnya sangat sederhana tidak mampu membelikannya buku-buku baru, karena itu mereka menghadiahkan sebuah sepeda pada hari Natal agar John dapat pergi ke perpustakaan setiap minggu. Peraturan di perpustakaan itu hanya boleh membawa 10 buku untuk sekali pinjam, namun John berhasil meyakinkan petugas perpustakaan sehingga ia bisa membawa 12 buku untuk sekali pinjam.
Kepala Sekolah di Nepal di mana John berkunjung melihat raut prihatin di wajah John, beliau kemudian berkata, “Barangkali, Pak, suatu hari Anda akan kembali dengan membawa buku-buku”. Diliputi keprihatinan, John berjanji akan kembali tahun depan dengan membawa 200-300 buku. Seorang guru meragukan kesanggupannya dan berkata,” Banyak pejalan kaki datang melalui daerah ini dan berjanji akan membantu kami. Tetapi, mereka tidak pernah kembali dan kami tidak mendengar kabar mereka lagi.” Namun John berkata bahwa ia akan setia dengan janjinya. Janji John pada akhirnya membawa arah kehidupan baru baginya.
Sepulangnya dari Nepal, John segera mengirim email kepada 100 temannya untuk membantunya mengumpulkan buku-buku bekas layak baca. Sementara ia melanjutkan pekerjaannya di Cina, buku-buku itu dikumpulkan di Coloroda, tempat kediaman orang tuanya. Suatu hari dia memperoleh email dari ayahnya yang mengabarkan telah terkumpul hampir 3000 buku, garasinya sudah tidak muat untuk menampung buku-buku lagi. Lebih dari yang dia bayangkan, karena dia mengira hanya akan mampu mengumpulkan 100-200 buku saja. Lalu, dikirimlah 37 kotak buku ke Nepal seberat 967 pon. Beberapa bulan kemudian, berdua saja dengan ayahnya, John pergi ke Nepal. Mereka menyewa 8 keledai, mendaki jalan terjal berliku-liku untuk mengantarkan buku-buku tersebut ke sekolah yang pernah dikunjunginya tahun lalu. Para guru, siswa bahkan warga desa menyambut gembira kedatangan mereka. Para siswa memandang takjub isi buku yang penuh warna pemberian John, bahkan mereka belum pernah melihat buku anak-anak seperti itu sebelumnya. Perjalanan itu tidak hanya membawa John menemukan panggilan hidupnya, tetapi juga memulihkan hubungannya dengan ayahnya yang selama ini kurang komunikasi.
Melihat wajah anak-anak yang berbinar membuat John berpikir untuk lebih fokus terhadap proyek yang lebih berharga dan bermakna ini. John merasa sudah saatnya harus segera melakukan perubahan dalam hidupnya. John mulai mencari tahu apakah ia mampu meninggalkan pekerjaannya, karena ia membutuhkan uang yang banyak untuk mengerjakan proyek ini dan untuk membiayai hidupnya. Apalagi setelah ia menyadari bahwa tabungannya hanya akan cukup untuk menghidupinya selama 5 tahun dan kenyataan bahwa selama ini Microsoft-lah yang membayar uang sewa apartemennya. Dia segera menghibur hatinya dengan berkata,” Apa baiknya memiliki tabungan jika kamu tidak bisa menggunakannya untuk mendanai impian-impianmu.” John berusaha memikirkan pekerjaan baru yang bisa membuatnya tetap mempunyai waktu untuk proyeknya. Sempat terpikirkan olehnya untuk menjadi seorang bartender. Masalahnya, bagaimana dengan kehidupan sosialnya? Di Amerika, dalam suatu pertemuan sosial manapun, pertanyaan yang pertama kali muncul adalah, “Apa pekerjaan Anda?”. Dia mulai merasa sangat sedih dan malu ketika mendapati dirinya mengandalkan label untuk menentukan identitas diri. Teringat akan kata-kata ayahnya, “... Jangan lakukan apapun untuk menyenangkan kami. Lakukan yang menurut kamu tepat untuk dilakukan dan biasakan menjawab hanya pada dirimu sendiri”. John merasa dikuatkan. “Sudah saatnya berhenti menimbang-nimbang. Saya tahu apa yang saya inginkan. Di masa lalu, saya selalu bersumpah untuk melakukan lebih banyak amal. Saya biasanya gagal, pekerjaanlah yang menang. Kali ini saya bersumpah, pekerjaan tak akan menang.”
Akhirnya dengan kebulatan tekad dan tanpa tahu seperti apa “kehidupan setelah Microsoft”, John melangkah pergi meninggalkan Microsoft. Dia mengucapkan selamat tinggal dengan singkat dan jelas kepada bosnya yang kaget dan kebingungan karena keputusannya tidak dapat diubah lagi. Dia
juga harus meninggalkan kekasihnya yang tidak dapat menerima pengunduran dirinya dari kehidupan yang nyaman di bawah panji Microsoft untuk masuk dalam kehidupan “memberi diri untuk orang lain”. John pun hijrah ke San Fransisco, “tempat dimana banyak orang kaya tinggal” untuk mulai menggalang dana dan jaringan bagi proyek amalnya. Sejak itu, John mendedikasikan seluruh hidupnya untuk mendirikan ribuan sekolah dan perpustakaan di negara-negara miskin. Kemudian John mendirikan organisasi nirlaba "Books for Nepal" (Buku untuk Nepal), yang kemudian menjadi “Room to Read” (Ruang Baca). Tantangannya adalah tidak berhenti mencari dana untuk melaksanakan proyek. Tidak ada dana masuk berarti tidak ada program. "Room to Read" mengembangkan model investasi bersama, di mana penduduk setempat bisa menyumbangkan bahan bangunan atau tenaga kerja, di samping dana bantuan dari "Room to Read". Model ini membuat penduduk setempat memiliki sense of belonging (rasa turut memiliki) pada perpustakaan atau sekolah yang dibangun.
Di dalam presentasi penggalangan dana, daripada membicarakan apa yang akan dilakukan, John membicarakan apa yang telah dikerjakannya. Email signature John berisi angka-angka pencapaian "Room to Read" yang diperbarui terus-menerus. Biaya operasional organisasi ditekan serendah mungkin, sehingga donatur bisa melihat bahwa dari setiap 100% dana yang disumbangkan, 90% digunakan untuk membangun perpustakaan, sekolah, lab komputer, atau beasiswa untuk anak-anak perempuan. Kemampuan John Wood dalam mengembangkan "Room to Read" sedikit banyak terasah ketika bekerja di Microsoft, dalam gemblengan Steve Ballmer (orang penting kedua di Microsoft, setelah Bill Gates tentunya) yang berorientasi pada 'data dan kinerja'. Setiap manager di Microsoft harus memahami setiap keping data hingga taraf angka-angka itu terpatri ke dalam otak mereka.
Berawal dari pengiriman email kepada teman-temannya untuk mendonasikan buku bekas, "Room to Read" telah berekspansi dari Nepal ke Vietnam, Kamboja, Laos, India, Sri Langka, Afrika Selatan dan Zambia. Setelah 8 tahun, Room to Read telah mendirikan 5.160 perpustakaan, 442 sekolah, 115 laboratorium komputer dan bahasa, memberikan 4.036 beasiswa jangka panjang untuk anak-anak perempuan, dan lebih dari 4,3 juta buku didonasikan dan diterbitkan dalam berbagai bahasa setempat. Tujuan jangka panjang mereka adalah mendirikan 20.000 sekolah dan perpustakaan yang akan mendidik 10 juta anak di negara-negara berkembang. Cabang-cabang penggalangan dana bagi "Room to Read" terus berkembang di Amerika Serikat. Cabang internasional sudah ada di Milan, Paris, Sidney, London, Hongkong.
Kini, dalam usia lebih dari 40 tahun, John Wood masih belum mempunyai rumah. Namun, ia merasa bersyukur mengenai siapa dirinya, apa yang ingin difokuskan, dan ukuran-ukuran yang diperlukan untuk menilai diri sendiri. Ia merasa puas karena kehidupannya dulu di Microsoft dan kehidupannya yang baru sekarang ini adalah satu kesatuan rangkaian. Mengutip kata-katanya, ”Tidak perlu menunggu menjadi seorang Bill Gates untuk bisa mengubah dunia, saya hanya orang biasa yang mendirikan organisasi untuk membagikan ribuan buku kepada anak-anak. Yang dibutuhkan tidak lebih dari hasrat, energi dan dorongan untuk menjalankan impian kita. Tidaklah penting jika kita memiliki kekayaan materi. Apa yang sesungguhnya penting adalah apa yang kita lakukan dengan kekayaan itu? Saya telah mencapai kesuksesan finansial pada usia muda, tetapi itu sebagian besar karena keberuntungan. Saya kebetulan bergabung dengan perusahaan yang tepat pada saat yang tepat. Fakta bahwa saya mempunyai uang tidak menjadikan saya orang yang lebih baik. Yang sungguh-sungguh penting adalah apa yang saya lakukan dengan uang itu.”
Sumber:
Leaving Microsoft to Change The World, by John Wood, Penerbit Bentang & internet
No comments:
Post a Comment