Beban yang Tidak Seharusnya Dipikul
Suatu hari seorang petani hendak menjual hasil panennya ke kota. Petani ini berasal dari sebuah desa terpencil yang dikelilingi oleh sawah dan ladang. Karena tempatnya cukup terpencil, maka desanya sangat jarang dilalui alat transportasi. Untuk mendapatkan transportasi ke kota, dia harus berjalan menuju jalan raya di ujung desa. Setelah menempatkan hasil panennya ke dalam dua keranjang besar, si petani pun berjalan ke ujung desa dengan memikul keranjangnya.
Setelah satu jam berjalan kaki, akhirnya petani sampai di ujung jalan. Lama menunggu, tidak ada satu kendaraanpun yang lewat. Sampai akhirnya lewatlah sebuah mobil angkut barang. Melihat petani yang berdiri celingukan di bawah panas matahari, sopir merasa kasihan lalu menghentikan mobilnya. ”Mau kemana, Pak?” Tanya sopir. ”Saya mau ke kota jual hasil panen. Tapi, tidak ada satu kendaraanpun yang lewat.” Jawabnya. ”Bapak boleh menumpang mobil saya. Tapi, di belakang ya, soalnya bangku depan sudah penuh.” Kata sopir sambil menunjukkan temannya yang duduk disampingnya. ”Terima kasih, Pak.” Ucap petani seraya naik ke mobil.
Sesampainya di kota, betapa terkejutnya sopir dan temannya melihat petani yang terduduk lemas, mandi keringat dan nafas yang ngos-ngosan seperti habis lari marathon ”Bapak kenapa?” tanya sopir. ”Hh... hh... hh... hh. Syukurlah... sudah... sampai. Saya... sudah... tidak... kuat... lagi. Saya... sudah... capek... memikul... keranjang.” Jawab petani hampir pingsan kelelahan. ”Loh, jadi sepanjang perjalanan naik mobil tadi bapak masih memikul keranjang bapak?” Tanya sopir heran dan bingung. ”Iya... saya... pikul dua-duanya...” ”Astaga, Pak!?!!” Teriak sopir dan temannya saking terkejutnya.
Kedengarannya lucu, bukan? Tetapi, kadang kala kita bersikap seperti petani tersebut. Memikul beban yang tidak seharusnya dipukul sehingga kaki kita tidak dapat berlari kencang menggenapi rencana Tuhan atas hidup kita.
Yulia Windyasari
Pemimpin Redaksi
Setelah satu jam berjalan kaki, akhirnya petani sampai di ujung jalan. Lama menunggu, tidak ada satu kendaraanpun yang lewat. Sampai akhirnya lewatlah sebuah mobil angkut barang. Melihat petani yang berdiri celingukan di bawah panas matahari, sopir merasa kasihan lalu menghentikan mobilnya. ”Mau kemana, Pak?” Tanya sopir. ”Saya mau ke kota jual hasil panen. Tapi, tidak ada satu kendaraanpun yang lewat.” Jawabnya. ”Bapak boleh menumpang mobil saya. Tapi, di belakang ya, soalnya bangku depan sudah penuh.” Kata sopir sambil menunjukkan temannya yang duduk disampingnya. ”Terima kasih, Pak.” Ucap petani seraya naik ke mobil.
Sesampainya di kota, betapa terkejutnya sopir dan temannya melihat petani yang terduduk lemas, mandi keringat dan nafas yang ngos-ngosan seperti habis lari marathon ”Bapak kenapa?” tanya sopir. ”Hh... hh... hh... hh. Syukurlah... sudah... sampai. Saya... sudah... tidak... kuat... lagi. Saya... sudah... capek... memikul... keranjang.” Jawab petani hampir pingsan kelelahan. ”Loh, jadi sepanjang perjalanan naik mobil tadi bapak masih memikul keranjang bapak?” Tanya sopir heran dan bingung. ”Iya... saya... pikul dua-duanya...” ”Astaga, Pak!?!!” Teriak sopir dan temannya saking terkejutnya.
Kedengarannya lucu, bukan? Tetapi, kadang kala kita bersikap seperti petani tersebut. Memikul beban yang tidak seharusnya dipukul sehingga kaki kita tidak dapat berlari kencang menggenapi rencana Tuhan atas hidup kita.
Yulia Windyasari
Pemimpin Redaksi
No comments:
Post a Comment