INSPIRATIONAL STORY - 11 Mei 2008
Michael Weisskopf, 59 tahun, adalah seorang jurnalis yang telah bekerja selama 20 tahun untuk The Washington Post. Pada 1997, untuk pertama kalinya ia bergabung dengan majalah Time. Salah satu tugas yang harus ia jalani sebagai jurnalis adalah meliput perang Irak pada tanggal 10 Desember 2003. Saat itu, ia ditugaskan untuk meliput seorang tentara AS yang akan dijadikan seorang tokoh “Person of the Year.”
Suatu malam, Weisskopf bersama rekan fotografernya, James Nachwey dan dua orang prajurit, Orion Jenks dan Jim Beverly, melakukan patroli rutin dengan mengendarai kendaraan Humvee militer AS. Namun, di tengah keramaian kota mereka tidak memperhatikan orang asing yang melewati mobil mereka. Tidak seorang pun di antara mereka sadar bahwa ada sesuatu yang dilemparkan orang asing tersebut ke dalam mobil mereka, tetapi Weisskopf melihat hal itu. Dalam sekejap, ia tahu bahwa benda itu adalah sebuah granat. Weisskopf langsung mengambil benda itu dan melemparkannya ke luar mobil. Sayangnya, granat tersebut terlanjur meledak di tangannya. Weisskopf tidak sadarkan diri dan hanya merasakan kegelapan.
Ketika sadar, ia menemukan bahwa tangan kanannya sudah diamputasi. Tentu saja hal itu membuatnya sangat terpukul. Awalnya ia sangat menyesali apa yang telah terjadi padanya. Ia menyesal mengapa naik mobil Humvee dan mengapa bertindak senekat itu. Akhirnya, ia menumpahkan segala pergumulannya kepada seorang suster yang merawat dia di rumah sakit militer. “Seandainya saya tidak memungut granat itu, saya tidak akan kehilangan sebuah tangan saya,” katanya.
Suster itu dengan bangga berkata, “Anda adalah seorang pahlawan. Anda memang telah kehilangan tangan Anda, namun Anda telah menyelamatkan banyak nyawa. Kalau Anda tidak melempar keluar granat itu, mungkin saat itu Anda akan kehilangan nyawa. Anda dan seluruh penumpang lain di mobil itu akan tewas. Tetapi, Anda dan seluruh peumpang selamat berkat insting Anda untuk tetap bertahan hidup.”
Weisskopf terhibur mendengar kata-kata suster itu, namun ia terus berpikir bagaimana caranya melanjutkan karirnya sebagai jurnalis tanpa memiliki sebelah tangan; bagaimana ia bisa menghidupi keluarga dan kedua anaknya. Pikiran inilah yang membuatnya mengalami trauma berat setelah diamputasi.
Untuk mengatasi trauma yang dialaminya, Weisskopf dikirim ke rumah sakit di Jerman yang khusus menangani penderita trauma berat. Setelah itu, ia dikirim ke rumah sakit militer Ward 57 Walter Reed, Washington. Rumah sakit ini dikhususkan untuk menangani prajurit yang kehilangan sabagian anggota badannya. Di rumah sakit inilah, ia menemukan jalan terang. Ia melihat dan mengalami sendiri bagaimana pergumulan dan rasa sakit yang amat sangat, yang diderita tentara korban amputasi. Tidak hanya sakit secara fisik, melainkan juga tekanan batin karena menyadari mereka telah menjadi orang cacat.
“Saya mungkin telah kehilangan sebelah tangan, tetapi dengan kehilangan tangan itu, saya justru telah menemukan jalan hidup saya yang baru,” katanya. Ia mendapat ganti sebuah tangan robot yang bisa membantunya dalam aktivitas sehari-hari. Setelah sembuh total, Weisskopf memutuskan untuk menulis pengalamannya sejak di Irak sampai masa penyembuhannya. Buku itu ia beri judul Blood Brothers: Among the Soldiers of Ward 57. Buku ini rencananya dirilis pada awal Oktober 2006.
Berkat keberaniannya di Irak, Weisskopf diberi beberapa penghargaan, antara lain: National Headliners Award dan The Daniel Pearl Award untuk keberanian dan integritasnya pada jurnalistik. Selain itu, ia juga mendapat gelar kehormatan dari Overseas Press Club dan dua nominasi dari National Magazine Award.
Michael Weisskopf, 59 tahun, adalah seorang jurnalis yang telah bekerja selama 20 tahun untuk The Washington Post. Pada 1997, untuk pertama kalinya ia bergabung dengan majalah Time. Salah satu tugas yang harus ia jalani sebagai jurnalis adalah meliput perang Irak pada tanggal 10 Desember 2003. Saat itu, ia ditugaskan untuk meliput seorang tentara AS yang akan dijadikan seorang tokoh “Person of the Year.”
Suatu malam, Weisskopf bersama rekan fotografernya, James Nachwey dan dua orang prajurit, Orion Jenks dan Jim Beverly, melakukan patroli rutin dengan mengendarai kendaraan Humvee militer AS. Namun, di tengah keramaian kota mereka tidak memperhatikan orang asing yang melewati mobil mereka. Tidak seorang pun di antara mereka sadar bahwa ada sesuatu yang dilemparkan orang asing tersebut ke dalam mobil mereka, tetapi Weisskopf melihat hal itu. Dalam sekejap, ia tahu bahwa benda itu adalah sebuah granat. Weisskopf langsung mengambil benda itu dan melemparkannya ke luar mobil. Sayangnya, granat tersebut terlanjur meledak di tangannya. Weisskopf tidak sadarkan diri dan hanya merasakan kegelapan.
Ketika sadar, ia menemukan bahwa tangan kanannya sudah diamputasi. Tentu saja hal itu membuatnya sangat terpukul. Awalnya ia sangat menyesali apa yang telah terjadi padanya. Ia menyesal mengapa naik mobil Humvee dan mengapa bertindak senekat itu. Akhirnya, ia menumpahkan segala pergumulannya kepada seorang suster yang merawat dia di rumah sakit militer. “Seandainya saya tidak memungut granat itu, saya tidak akan kehilangan sebuah tangan saya,” katanya.
Suster itu dengan bangga berkata, “Anda adalah seorang pahlawan. Anda memang telah kehilangan tangan Anda, namun Anda telah menyelamatkan banyak nyawa. Kalau Anda tidak melempar keluar granat itu, mungkin saat itu Anda akan kehilangan nyawa. Anda dan seluruh penumpang lain di mobil itu akan tewas. Tetapi, Anda dan seluruh peumpang selamat berkat insting Anda untuk tetap bertahan hidup.”
Weisskopf terhibur mendengar kata-kata suster itu, namun ia terus berpikir bagaimana caranya melanjutkan karirnya sebagai jurnalis tanpa memiliki sebelah tangan; bagaimana ia bisa menghidupi keluarga dan kedua anaknya. Pikiran inilah yang membuatnya mengalami trauma berat setelah diamputasi.
Untuk mengatasi trauma yang dialaminya, Weisskopf dikirim ke rumah sakit di Jerman yang khusus menangani penderita trauma berat. Setelah itu, ia dikirim ke rumah sakit militer Ward 57 Walter Reed, Washington. Rumah sakit ini dikhususkan untuk menangani prajurit yang kehilangan sabagian anggota badannya. Di rumah sakit inilah, ia menemukan jalan terang. Ia melihat dan mengalami sendiri bagaimana pergumulan dan rasa sakit yang amat sangat, yang diderita tentara korban amputasi. Tidak hanya sakit secara fisik, melainkan juga tekanan batin karena menyadari mereka telah menjadi orang cacat.
“Saya mungkin telah kehilangan sebelah tangan, tetapi dengan kehilangan tangan itu, saya justru telah menemukan jalan hidup saya yang baru,” katanya. Ia mendapat ganti sebuah tangan robot yang bisa membantunya dalam aktivitas sehari-hari. Setelah sembuh total, Weisskopf memutuskan untuk menulis pengalamannya sejak di Irak sampai masa penyembuhannya. Buku itu ia beri judul Blood Brothers: Among the Soldiers of Ward 57. Buku ini rencananya dirilis pada awal Oktober 2006.
Berkat keberaniannya di Irak, Weisskopf diberi beberapa penghargaan, antara lain: National Headliners Award dan The Daniel Pearl Award untuk keberanian dan integritasnya pada jurnalistik. Selain itu, ia juga mendapat gelar kehormatan dari Overseas Press Club dan dua nominasi dari National Magazine Award.
Kehidupan yang tidak maksimal bukan karena apa yang tidak dimiliki oleh seseorang,
tetapi karena ia tidak memaksimalkan apa yang telah ia miliki sekarang.
tetapi karena ia tidak memaksimalkan apa yang telah ia miliki sekarang.
No comments:
Post a Comment