Sunday, October 25, 2009

Love Beyond Reason (Kasih yang Melampaui Akal)

FOKUS KITA

Beberapa waktu yang lalu, sebuah rekaman video klip pendek diberikan oleh seorang teman kepada saya. Klip itu mengisahkan perjalanan hidup seorang anak kecil hingga ia dewasa yang berisi tentang kerinduan tak terpenuhi, kasih yang tak terbalaskan, kekecewaan serta kemarahan yang bercampur pengharapan di saat yang bersamaan. Jika Anda menyaksikan klip tersebut, bisa jadi Anda akan menangis merasakan kepedihannya, atau bahkan meneguhkan dalam hati, “Ya, hidup saya juga seperti cerita dalam video klip itu.”


Berapa banyak di antara kita yang mengalami situasi yang ‘tidak adil’ di sebagian besar masa hidup kita? Ketidakadilan yang ‘dilakukan’ oleh orang-orang terdekat kita, orang yang dari merekalah ‘seharusnya’ kita memeroleh kasih, perlindungan, pengayoman, dukungan serta perhatian? Sebaliknya, kita justru berulang-ulang dicampakkan, ditinggalkan, dituntut, dipersalahkan, bahkan ‘dipaksa oleh situasi’ untuk menanggung akibat dari kesalahan maupun dosa mereka. Penampilan luar kita bisa saja tegar, namun ‘jiwa anak kecil’ dalam batin kita menangis hebat.


Mungkin itu anak yang tersakiti oleh pola asuh yang salah maupun kehancuran hubungan ayah-ibunya. Mungkin itu orang tua yang tersakiti oleh perlakuan anak yang mereka kasihi. Mungkin itu suami/ istri yang terluka oleh pengkhianatan satu sama lain. Mungkin itu seseorang yang merasa tidak berharga, karena selalu dibandingkan dengan sesama saudaranya yang ‘lebih hebat’ atau pernah mengalami pelecehan mental dan seksual dari keluarganya, bahkan tidak diharapkan kelahirannya. Mungkin itu seseorang yang merasa tidak berguna karena seringkali gagal memenuhi tuntutan kesempurnaan dari orang-orang terdekatnya. Apapun kebaikan yang coba kita lakukan, rasanya tidak berarti sama sekali, selalu saja ada yang kurang menurut mereka.


Sangat sakit rasanya. Nyatanya, inilah situasi maupun orang yang harus kita hadapi setiap hari. Bukan untuk melawan mereka, melainkan untuk mengasihi serta memulihkan mereka.. dengan kasih yang melampaui akal. Kasih yang melampaui akal? Seperti apakah itu? Mampukah manusia mengasihi sesamanya sebegitu rupa? Bagaimana caranya?


Mengasihi orang yang berulang-ulang melukai kita tidaklah sulit, tetapi mustahil! Ego manusia dan kebutuhan dasarnya untuk selalu di-kasihi juga membuat manusia enggan untuk terus-menerus mengasihi. Hanya ketika kita telah berjumpa dan dipuaskan oleh Sumber Kasih itu sendiri, kita akan mampu mengasihi orang lain tanpa syarat. Saat kita meminggirkan semua keinginan kita dan belajar memandang mereka seperti Tuhan memandang−yaitu berfokus kepada pribadi/jiwa mereka yang terluka serta membutuhkan pertolongan−kita akan mampu mengasihi mereka, bahkan mau bekerja sama dengan Tuhan untuk mendatangkan pemulihan bagi mereka.



Yesus Teladan Kita dalam Mengasihi


Ribuan tahun yang lalu, Yesus pun mengalami situasi serupa saat tergantung di kayu salib. Mengutip sebuah syair lagu Michael W. Smith, “… seperti bunga mawar yang dicampakkan ke tanah…” demikianlah Yesus ditinggalkan sendirian menanggung dosa seisi dunia. Bayangkan! Milik yang paling dikasihiNya−yang untuk mereka Dia berjuang dan berkorban, menolak, mencampakkan dan meninggalkanNya (keadaan yang sama dengan yang kita alami bukan?). Pun begitu, Dia tetap memikirkan kita, mengasihi, mengharapkan kita kembali, mengampuni dan mengasihi kita… berulang-ulang. Banyak dari kita yang kembali, namun tak sedikit pula… karena kebebalan hatinya… yang tidak kembali. Pun begitu (lagi), sampai hari ini Dia tetap mengampuni, berdoa untuk kita, mengasihi dan mengarapkan kita kembali.


1. Pahami dan Jangan Menuntut

Dengan memahami latar belakang atau masa lalu yang membentuk sikap dan tindakan mereka di masa kini, akan membantu kita untuk dapat berpikir dan bersikap benar terhadap mereka. Kita tidak dapat menuntut orang yang sakit untuk ‘tidak merintih kesakitan’. Adalah kecenderungan orang yang terluka hatinya untuk melukai sesamanya. Mereka tidak bisa dituntut. Mereka butuh dipahami dan diterima perasaannya. Ini memang sulit, tetapi mari perbarui pikiran kita: bahwa kita bukanlah korban, karena menderita ketidakadilan dan karena berbuat baik terhadap orang-orang yang menyakiti kita. Tetapi, kita adalah seorang yang beroleh kasih karunia dari Tuhan untuk dapat mengalami penderitaan tersebut (1 Petrus 2:19-20). Tidak semua orang dapat bertahan dan menang atas penderitaan seperti ini. Jika saat ini kita mengalaminya, bersyukurlah.


2. Harapkan Hanya Dari-Nya

Bagaimanapun juga, memang tidak seharusnya orang yang terluka melampiaskan kemarahannya kepada kita. Tidak seharusnya kita ‘diperlakukan tidak adil’ oleh orang-orang yang terluka. Tetapi, semakin kita menuntut dan mengharapkan mereka bersikap baik seperti yang kita inginkan, kita akan semakin kecewa. Mereka terluka oleh masa lalu. Kita terluka oleh mereka. Jadi, bagaimana? Akui perasaan kita di hadapan Tuhan. Berharaplah dan mintalah hanya kepadaNya untuk menyembuhkan luka kita. Terimalah dan tinggallah dalam pemulihan terus-menerus.


3. Buka Katupnya, Biarkan Mengalir

Orang lain akan terus melukai kita. Tetapi, menjadi terluka atau tidak, itu pilihan kita. Sebagai orang yang telah menerima dan tinggal dalam pemulihan, kita tidak akan tahan menyimpan pemulihan untuk diri sendiri. Sebaliknya, kita buka katupnya dan mengalirkan pemulihan kepada mereka yang terluka. (l@)

No comments: