”APAPUN yang Terjadi,
Aku TETAP Mengasihi Keluargaku”
”Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.”
-Matius 5:39-
Senin, 26 Oktober 2009
Sama-Sama Benar Atau Sama-Sama Salah (Kejadian 3:8-13)
Seorang wanita duduk dalam kesedihan di sebuah bangku taman. Tiba-tiba seorang anak laki-laki menghampirinya sambil memberikan setangkai bunga yang hampir layu seraya memuji keindahan dan keharuman bunga itu. Meski merasa terganggu, sang wanita menerimanya sambil berpikir jika tidak segera menerimanya maka ia akan terganggu lebih lama. Saat itulah sang wanita baru menyadari bahwa ternyata anak laki-laki itu buta. Karena itulah, bermodal penciumannya, ia memberikan bunga yang dalam ”penglihatannya” sangat indah. Sikap sang wanita yang menyalahkan penilaian sang anak tentang bunga itu sebenarnya serupa dengan sikap dua pihak yang saling menyalahkan. Mereka masing-masing pada dasarnya berkata, ”Hanya saya yang benar dan hanya kamu yang salah.” Sungguh sering kita menemukan sikap saling menyalahkan ini dalam keluarga, meskipun sebenarnya kedua pihak mungkin sama-sama benar seperti dalam kisah di atas, atau malah sama-sama salah seperti Adam dan Hawa dalam bacaan hari ini. Mari berhenti menyalahkan!
Selasa, 27 Oktober 2009
Rumput Orang Lain Juga Sama Hijaunya (Kejadian 4:1-9, Roma 12:15)
Rasa iri hati dapat terpupuk dalam keluarga sejak anak-anak masih kecil. Kakak merasa iri kepada adik yang baru lahir, karena seakan-akan memeroleh lebih banyak perhatian. Adik merasa iri kepada kakak, karena harus memakai barang-barang ”bekas” yang sudah kekecilan untuk dipakai oleh kakaknya. Cerita demi cerita bertema iri hati tersebut dapat terus terjalin hingga anak-anak menjadi dewasa, bahkan diturunkan ke anak cucu mereka masing-masing. Betapa menyedihkannya jika hal ini terjadi dalam keluarga kita, apalagi sampai ada yang kehilangan nyawanya seperti yang terjadi di antara Kain dan Habel. Bagaimana keluarga kita dapat terbebas dari iri hati? Dengan saling menjadi cermin satu sama lain: ketika yang satu bersukacita, yang lain juga bersukacita sehingga tidak ada yang perlu merasa bahwa kondisinya lebih buruk dan rasa iri hati pun tidak muncul. Ketika yang satu berdukacita, yang lain ikut berdukacita, sehingga tidak ada yang perlu merasa lebih beruntung yang dapat memancing timbulnya iri hati.
Rabu, 28 Oktober 2009
Mengatasi Penolakan Keluarga (Hakim-Hakim 11:1-11)
Seorang anak menanyakan harga anak-anak anjing dan dijawab bahwa harganya sekitar 300-500 ribu rupiah. Si anak mengeluarkan uang dari sakunya dan berkata, ”Saya memiliki Rp 25.000,-, bisakah saya melihat saja anak-anak anjing itu?” Sang pemilik bersiul, kemudian keluar seekor induk anjing dengan diikuti lima anaknya, tetapi salah satu di antaranya ternyata timpang. Sang anak pun bersikeras membeli anak anjing yang timpang itu dengan uang Rp 25.000,- yang dimilikinya ditambah mencicil Rp 5.000,- setiap bulan hingga lunas, walaupun sang pemilik ingin memberikan secara cuma-cuma. Ketika pemilik berkata bahwa anak anjing itu tidak akan dapat berlari dan melompat, sang anak menunjukkan kaki kirinya yang ternyata juga pincang sambil berkata, ”Saya juga tidak dapat berlari dengan baik dan anak anjing itu membutuhkan seseorang yang memahaminya!” Demikianlah dengan diri kita, meskipun ada anggota keluarga yang menolak kita, tetapi Yesus menerima dan memahami kita. Tuhan bahkan juga sanggup mengubah hati anggota keluarga yang sebelumnya menolak... menjadi menerima kita, seperti yang Yefta alami.
Kamis, 29 Oktober 2009
Bercahaya = Berhenti Bersungut-sungut dan Berbantah (Filipi 2:12-16)
Orang yang tidak bersungut-sungut dan tidak berbantah-bantahan disamakan dengan bintang yang bercahaya di langit menerangi dunia. Bagaimana sikap tidak bersungut-sungut dan tidak berbantah-bantahan bisa sedemikian besar dampaknya? Akar dari sikap bersungut-sungut dan berbantah adalah hati yang tidak bersyukur kepada Tuhan. Itulah juga yang menjadi akar dari kejatuhan manusia ke dalam dosa. Saat itu Adam dan Hawa tidak mensyukuri kehidupan mereka sebagai ciptaan Tuhan yang paling mulia, tetapi justru ingin menjadi seperti Pencipta mereka sehingga tergiur untuk makan dari buah pohon pengetahuan yang baik dan jahat. Ketika bersungut-sungut dan berbantah berarti kita juga tidak bersyukur atas kebaikan dan karya Tuhan, melainkan terus merasa tidak puas akan kondisi kita. Khususnya di dalam keluarga, mungkin kita pernah berpikir seandainya kita dilahirkan dalam keluarga lain. Mungkin kita juga sering mengeluh atas sikap orang tua, suami, istri, anak, atau cucu yang di luar keinginan kita. Maka, mulai hari ini siapkan hidup kita untuk menjadi bercahaya dengan berhenti bersungut-sungut dan juga berhenti berbantah-bantahan!
Jumat, 30 Oktober 2009
Ketika Kita Dibohongi (Matius 26:30-35, 69-75, Yohanes 21:15-19)
Suatu hari seorang teman dekat mengaku bahwa ia telah membohongi saya. Ia juga menjelaskan apa yang membuatnya memutuskan berbohong, yaitu ia takut bahwa jika ia jujur saya akan marah sehingga timbul konflik di antara kami. Demikian pula dalam hubungan dengan keluarga, suatu waktu bisa terjadi salah satu anggota keluarga berbohong kepada yang lain, entah berupa kata-kata atau yang berwujud pengkhianatan/ perselingkuhan. Kebohongan itu bisa karena dipicu sikap kita sendiri seperti yang saya alami, bisa juga karena ia memang berniat membohongi kita. Apapun wujud dan alasan kebohongan keluarga kita, Tuhan Yesus memberikan teladan yang luar biasa ketika menghadapi kebohongan Petrus (yang sebelumnya dengan gagah berani berkata bahwa ia tidak akan menyangkal Yesus, tetapi kemudian dalam keadaan terjepit ia menyangkal Yesus sebanyak tiga kali): Yesus mengampuni, menerima, dan bahkan ketika Petrus menunjukkan pertobatan yang sungguh-sungguh, Yesus memberikan kesempatan kedua kepada Petrus.
Sabtu, 31 Oktober 2009
Meskipun Keluarga Kita Gagal (Bilangan 12)
Setiap orang bisa mengalami kegagalan, begitu juga keluarga kita. Hanya saja kita lebih sulit menerima kegagalan orang lain jika orang itu adalah bagian dari keluarga kita. Kita ikut merasa malu atas kegagalannya atau mungkin merasa bahwa kegagalannya itu juga merugikan keluarga. Akibatnya kita mengata-ngatai, menghakimi, atau malah menjauhi di saat orang tersebut sebenarnya justru membutuhkan doa dan dukungan dari orang-orang dekatnya. Ketika Harun dan Miryam melihat kegagalan Musa yang mengambil perempuan dari bangsa lain, mereka mengatai Musa dan akibatnya Tuhan menegur mereka, bahkan Miryam sempat terkena kusta. Sebaliknya, ketika Musa melihat kegagalan Harun dan Miryam itu, Musa justru berdoa agar Tuhan menyembuhkan Miryam. Harun dan Miryam menunjukkan respon yang bertolak belakang dengan respon Musa, meski mereka sama-sama menghadapi kegagalan anggota keluarga mereka. Dengan anugerah dan kasih Yesus sendiri, saya percaya kita juga mampu berespon seperti Musa.
Minggu, 1 November 2009
Tetap Menyembah Tuhan (2 Samuel 6:18-23)
Setelah menjadikan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi, tentu hidup kita berubah sehingga orang lain, termasuk keluarga, mulai berespon. Sebagian orang mengalami respon yang positif dari keluarga atau bahkan dengan cepat keluarganya juga bertobat, tetapi sebagian lainnya diizinkan Tuhan untuk justru mengalami penentangan dari keluarga. Penentangan itu dapat berupa kritikan dan celaan ketika melakukan sesuatu yang sesuai dengan Firman Tuhan, tetapi bertentangan dengan pola pikir dunia. Atau dapat juga berupa adanya larangan untuk menyembah Yesus dengan sepenuh hati sehingga disuruh untuk menjadi ”biasa-biasa saja” dan tidak perlu ”fanatik”. Daud pun pernah mengalami hal serupa, ketika ia menari di hadapan Tuhan dengan sekuat tenaga, Mikhal – istri Daud – justru memandang rendah Daud. Daud tidak membalas dengan respon yang negatif juga, tetapi justru menegaskan keteguhan hatinya untuk tetap menyembah Tuhan. Mari kita tidak berfokus kepada sikap negatif keluarga sehingga tidak menjadi emosional dan dapat memberikan tanggapan yang benar atas penentangan mereka.