FOKUS KITA - 16 November 2008
Suatu ketika Tuhan pertemukan saya dengan seseorang yang di kemudian hari akhirnya dia menjadi salah seorang teman dekat saya. Bagi saya, dan mungkin juga bagi beberapa orang yang mengenalnya secara dekat, ia adalah pribadi yang cukup unik. Selain jiwa sosialnya tinggi, dia adalah seorang yang penuh potensi, rajin dalam pekerjaannya, setia kawan, rela berkorban untuk menolong orang lain.
Karena kepribadiannya yang baik inilah dia sering dipercayakan tanggung jawab oleh banyak orang. Banyak orang merasa aman dan nyaman saat bekerja sama denganya atau saat mempercayakan tanggung jawab padanya. Saya sendiri juga pernah bekerja sama dengannya.
Suatu ketika saya pernah diberi kesempatan untuk menjadi pembina bagi dia. Saat membina dia, saya semakin mengenal pribadinya lebih dalam. Di awal-awal pembinaan, saya dikejutkan oleh beberapa sikap dan sifatnya yang cukup membingungkan, di samping beberapa kepribadiannya yang baik di atas.
Sikap dan sifatnya yang membingungkan itu terlihat nyata manakala dia me-ngalami konflik dalam hubungan dengan sesama ataupun tantangan tanggung jawab lebih besar yang dipercayakan padanya. Ia suka menutup diri dan lari dari masalahnya. Saya menjadi tahu, bahwa dia adalah orang yang sulit menerima kasih dan perhatian dari orang lain (padahal sebenarnya dia sangat butuh), tetapi sangat suka memberi perhatian pada orang lain. Dia punya rasa minder, takut gagal dan tertolak yang sangat besar, sangat sulit terbuka tentang perasaannya yang sebenarnya. Ia cen-derung suka me-nyenangkan orang, sekalipun ia sedang terluka, untuk menjaga hubungan baik dengan sesama. Namun, justru sikapnya ini akhirnya sering membawa dia pada rangkaian konflik, baik dalam batinnya sendiri maupun dengan orang lain. Bisa dikatakan dia mengalami banyak kesulitan dalam menjalin hubungan yang sehat dengan orang lain. Banyak orang menghakimi sikapnya yang menyulitkan dan menyerah terhadapnya.
Sekalipun bingung bagaimana cara menolongnya dan juga kesal dengan kekerasan kepalanya (kami sering terlibat dalam konseling yang panjang, sulit dan melelahkan), saya berusaha untuk menemani dan menolongnya untuk pulih, agar dia berkemenangan dalam menghadapi ketakutan serta masalahnya, bukan lari. Terlebih setelah mengetahui latar belakang kehidupan dalam keluarganya serta pengalaman masa lalu yang membentuk kepribadiannya yang cukup rumit kala itu, rasa kasih dan belas kasih saya kepadanya semakin besar. Dengan berjalannya waktu, sekalipun masih ada beberapa kekurangan di sana-sini, namun sekarang saya dapat melihat dia jauh bertumbuh lebih baik dari dirinya enam tahun yang lalu.
Tuhan adalah penuntun terbaik bagi kita untuk menolong orang-orang yang sulit.
PERCAYA! Itu adalah kunci utama yang harus kita pegang ketika menghadapinya. Percaya bahwa Tuhan sanggup memulihkan serta mengubahkan dan percaya bahwa dia bisa berubah. Terkadang lelah dan putus asa melanda, namun TETAP bedoa dan percaya pada kesanggupan Tuhan akan selalu menguatkan kita kembali. Terus melihat dan mencari yang terbaik dalam dirinya menjadi kekuatan bagi kita supaya tidak menyerah dalam menolongnya. Berfokus pada kekurangan dan hal-hal negatif yang ada hanya akan melemahkan semangat. Sebaliknya, TERUS memotivasi dan meyakinkan bahwa dia BISA, akan membangkitkan rasa percaya diri dan semangatnya untuk berubah.
Adakalanya kita “menggenggam”, adakalanya juga kita perlu “melepaskan” dia dan hanya mengawasinya. Terkadang seseorang perlu ruang dan waktu untuk memahami kebenaran yang kita sampaikan dan menerapkannya dalam hidupnya. Sementara mengawasinya, kita terus mendoakan, mendampingi dan memberi saran bila dibutuhkan. Terlalu menggenggamnya dapat membuatnya tertekan atau sebaliknya jadi bergantung pada kita. Kita perlu PEKA kapan saatnya memperhatikannya dengan intens dan kapan saatnya memberikan kepercayaan untuk dia belajar mengepakkan sayapnya sendiri.(L@)
No comments:
Post a Comment