Selalu ada yang memperhatikanmu!
Seluruh penumpang di dalam bus merasa simpati melihat seorang wanita muda dengan tongkatnya meraba-raba menaiki tangga bus. Dengan tangannya yang lain dia meraba posisi di mana sopir berada, dan membayar ongkos bus. Lalu berjalan ke dalam bus mencari-cari bangku yang kosong dengan tangannya. Setelah yakin bangku yang dirabanya kosong, dia duduk, meletakkan tasnya di atas pangkuan, dan satu tangannya masih memegang tongkat.
Satu tahun sudah, Jane, wanita muda itu, mengalami kebutaan. Suatu kecelakaan telah berlaku atasnya, dan menghilangkan penglihatannya untuk selama-lamanya. Dunia tiba-tiba saja menjadi gelap dan segala harapan serta cita-cita menjadi sirna. Dia adalah wanita yang penuh dengan ambisi menaklukan dunia, aktif di segala perkumpulan, baik di sekolah, rumah maupun di lingkungan gerejanya. Tiba-tiba saja semuanya sirna begitu kecelakaan itu dialaminya. Kegelapan, frustrasi, dan rendah diri tiba-tiba saja menyelimuti jiwanya. Hilang sudah masa depan yang selama ini dicita-citakan. Merasa tak berguna dan tak ada seorangpun yang sanggup menolong, ia selalu mengeluh di dalam hati, "Bagaimana bisa ini terjadi padaku?" dia menangis. Hatinya protes, diliputi kemarahan dan putus asa. Tapi, tak peduli sebanyak apa pun dia mengeluh dan menangis, sebanyak apa pun dia protes, sebanyak apapun dia berdo'a dan memohon, dia harus tahu, penglihatannya tak akan kembali.
Di antara frustrasi, depresi dan putus asa, dia masih beruntung, karena mempunyai suami yang begitu penyayang dan setia, John. John adalah seorang prajurit angkatan laut biasa yang bekerja sebagai petugas security di sebuah perusahaan. Dia mencintai Jane dengan seluruh hatinya. Ketika mengetahui Jane kehilangan penglihatan, rasa cintanya tidak berkurang sedikitpun. Justru perhatiannya semakin bertambah, ketika dilihatnya Jane tenggelam ke dalam jurang keputus-asaan. John ingin menolong mengembalikan rasa percaya diri Jane, seperti ketika Jane belum menjadi buta. John tahu, ini adalah perjuangan yang tidak gampang. Butuh ekstra waktu dan kesabaran yang tidak sedikit.
Karena buta, Jane tidak bisa terus bekerja di perusahaannya. Dia berhenti dengan terhormat. John mendorongnya supaya belajar huruf Braile. Dengan harapan, suatu saat bisa berguna untuk masa depan. Tapi, bagaimana Jane bisa belajar? Sedangkan untuk pergi ke mana-mana saja selalu diantar John? Dunia ini begitu gelap. Tak ada kesempatan sedikitpun untuk bisa melihat jalan.
Dulu, sebelum menjadi buta, dia memang biasa naik bus ke tempat kerja dan ke mana saja sendirian. Tapi kini, ketika buta, apa sanggup dia naik bus sendirian? Berjalan sendirian? Pulang-pergi sendirian? Siapa yang akan melindunginya ketika sendirian? Begitulah yang berkecamuk di dalam hati Jane yang putus asa. Tapi, John membimbing jiwa Jane yang sedang frustasi dengan sabar. Dia merelakan dirinya untuk mengantar Jane ke sekolah, di mana Jane musti belajar huruf Braile. Dengan sabar John menuntun Jane menaiki bus kota menuju sekolah yang dituju. Dengan susah payah dan tertatih-tatih Jane melangkah bersama tongkatnya. Sementara John berada di sampingnya.
Selesai mengantar Jane dia menuju tempat dinas. Begitulah, selama berhari-hari dan berminggu-minggu John mengantar dan menjemput Jane. Lengkap dengan seragam dinas security. Tapi lama-kelamaan John sadar, tak mungkin selamanya Jane harus diantar; pulang dan pergi. Bagaimanapun juga Jane harus bisa mandiri, tak mungkin selamanya mengandalkan dirinya. Sebab dia juga punya pekerjaan yang harus dijalaninya. Dengan hati-hati dia mengutarakan maksudnya, supaya Jane tak tersinggung dan merasa dibuang. Sebab Jane, bagaimanapun juga masih terpukul dengan musibah yang dialaminya. Seperti yang diramalkan John, Jane histeris mendengar itu. Dia merasa dirinya kini benar-benar telah tercampakkan. "Aku buta, tak bisa melihat!" teriak Jane. "Bagaimana aku bisa tahu aku ada di mana? Kamu benar-benar sudah meninggalkanku."
John hancur hati mendengar itu. Tapi, dia sadar apa yang harus dilakukan. Mau tak mau Jane harus terima. Ia harus mau menjadi wanita yang mandiri. Meski begitu, John tidak begitu saja melepas Jane. Setiap pagi, dia mengantar Jane menuju halte bus. Dan setelah dua minggu, Jane akhirnya bisa berangkat sendiri ke halte. Berjalan dengan tongkatnya. John menasehatinya agar mengandalkan indera pendengarannya, di manapun dia berada. Setelah dirasanya yakin bahwa Jane bisa pergi sendiri, dengan tenang John pergi ke tempat dinas. Sementara Jane merasa bersyukur bahwa selama ini dia mempunyai suami yang begitu setia dan sabar membimbingnya. Memang tak mungkin bagi John untuk terus selalu menemani setiap saat ke manapun ia pergi. Tak mungkin juga selalu diantar ke tempatnya belajar, sebab John juga punya pekerjaan yang harus dilakoni. Dan, dia adalah wanita yang dulu, sebelum buta, tak pernah menyerah pada tantangan dan wanita yang tak bisa diam saja. Kini dia harus menjadi Jane yang dulu, yang tegar, menyukai tantangan dan suka bekerja serta belajar.
Hari-hari pun berlalu. Sudah beberapa minggu Jane menjalani rutinitasnya belajar, dengan mengendarai bus kota sendirian. Suatu hari, ketika dia hendak turun dari bus, sopir bus berkata, "Saya sungguh iri padamu". Jane tidak yakin, kalau sopir itu bicara padanya. "Anda bicara pada saya?" " Ya", jawab sopir bus. "Saya benar-benar iri padamu". Jane kebingungan, heran dan tak habis berpikir, bagaimana bisa di dunia ini, seorang buta, wanita buta, yang berjalan terseok-seok dengan tongkatnya hanya sekedar mencari keberanian mengisi sisa hidupnya, membuat orang lain merasa iri? "
Apa maksud anda?" Jane bertanya penuh keheranan pada sopir itu. "Kamu tahu," jawab sopir bus, "Setiap pagi, sejak beberapa minggu ini, seorang pria muda yang gagah dengan seragam militer selalu berdiri di seberang jalan. Dia memperhatikanmu dengan harap-harap cemas ketika kamu menuruni tangga bus. Ketika kamu menyeberang jalan, dia perhatikan langkahmu dan bibirnya tersenyum puas begitu kamu telah melewati jalan itu. Begitu kamu masuk gedung sekolahmu, dia meniupkan ciumannya padamu, memberimu salut, dan pergi dari situ. Kamu sungguh wanita beruntung, ada yang memperhatikan dan melindungimu".
Air mata bahagia mengalir di pipi Jane. Walaupun dia tidak melihat orang tersebut, namun dia yakin dan merasakan kehadiran John di sana. Dia merasa begitu sangat beruntung, bahwa John telah memberinya sesuatu yang lebih berharga dari penglihatan. Sebuah pemberian yang tak perlu untuk dilihat; kasih sayang yang membawa cahaya, ketika dia berada dalam kegelapan.
Demikian juga Tuhan kita. Sekalipun kita mungkin tidak menyadari kehadiranNya, namun Dia ada dan hidup. Ia selalu memperhatikan, mencukupi keperluan serta menjaga hidup dan keseharian kita. Dia yang cemas saat kita berbuat kesalahan dan Dia yang senang saat kita mengikuti kehendakNya. (internet)
No comments:
Post a Comment