Sunday, May 9, 2010

Engkau Peduli, Meski Cuma Alat Tulis

DARI KITA UNTUK KITA

Sekitar bulan Juli 2009, saya meminjamkan sebuah alat tulis kepada seorang teman.
Ketika menerimanya, dia berkata, “Hey, akan aku kembalikan waktu kita bertemu lagi minggu depan.”
Namun selang beberapa waktu, dia mengalami sebuah kecelakaan cukup besar.
Tentu saja saya jadi mengurunkan niat untuk menagih alat tulis tersebut.
Toh, saya juga tidak terlalu membutuhkannya. Saya masih punya beberapa cadangan alat tulis sejenis.
Beberapa bulan setelah dia menjadi pulih pasca kecelakaan tersebut, sempat beberapa kali saya berniat meminta kembali alat tulis tersebut. Namun, selain faktor jarang bertemu, saya juga sering lupa. Mungkin lagi-lagi karena saya merasa ‘toh itu tidak terlalu penting.’ Jadinya saya juga tidak begitu ‘niat’ menagih. Eh kemarin, entah kenapa, saya tiba-tiba teringat alat tulis itu lagi. Tiba-tiba saja saya kembali mengharapkan alat tulis itu kembali. Entah kenapa, saya merasa, benda itu sebenarnya cukup saya sukai, meski secara fungsi, saya sudah memiliki alat serupa. Tapi sekali lagi, entah merasa sungkan dan ada pemikiran ‘orang yang saya pinjami kayaknya juga sudah lupa’, ya sudah akhirnya saya tidak melakukan apa-apa. Tidak menanyakan, menelpon, atau sekedar SMS. “Ya sudahlah, alat tulis aja loh…” pikir saya.
Sudah benar-benar lupa dengan pikiran sepintas lewat tersebut, sorenya saya menghadiri sebuah acara. Yang kebetulan, juga dihadiri oleh teman saya yang meminjam alat tulis tersebut. Setelah menyelesaikan rangkaian acara sore itu, tiba-tiba, dia memanggil saya sambil mengulurkan tangannya. “Eh… ya ampun.. aku mau mengembalikan ini… Lupa terus dari dulu… Sori banget yaa.”
“Apa? Bagaimana bisa?” Saya begitu terkejut ketika menerima kembali alat tulis yang masih dalam kondisi mulus tersebut. Saya masih terheran-heran dengan ketepatan waktu yang rasanya cuma bisa dibilang ‘kebetulan’ tersebut. Siangnya baru kepikiran, malamnya tiba-tiba dapat. Lagian hey, ini loh cuma alat tulis…

Selang beberapa waktu setelah itu, saya merasa Tuhan berbicara dengan lembut, “Aku peduli loh, sama setiap keinginanmu. Meski itu hal yang sangat kecil. Meski ‘cuma’ tentang alat tulis kesukaanmu. Apalagi dengan keinginan dan harapan besarmu.”

Saya langsung menyadari, betapa bodohnya ya saya, bisa meragukan campur tangan Tuhan dalam hal-hal besar dalam hidup saya, seperti masa depan. Akhir-akhir ini, sedikit banyak, persoalan masa depan memang menjadi pemikiran tersendiri. Kepikiran ini, itu, bener nggak ya yang ini, bener nggak ya keputusan saya yang sudah begini, rencana saya yang ini, itu, dan sebagainya.
“Tuhan, saya mau percaya bahwa Engkau benar-benar paling mengerti apa yang saya butuhkan. Saya memutuskan tidak mau khawatir dengan apa pun. Engkau begitu peduli dengan alat tulisku, apalagi dengan masa depanku.”(vln)

No comments: