Monday, January 18, 2010

Meneriaki Pohon

Inspirational Story

Penduduk yang tinggal di sekitar Kepulauan Solomon, Pasifik Selatan, memiliki sebuah kebiasaan unik; yakni meneriaki pohon. Mereka melakukannya bila menjumpai sebuah pohon yang berakar sangat kuat sehingga sulit ditebang dengan kapak. Mereka meneriakinya, supaya pohon itu mati. Setiap hari, selama berjam-jam, para penduduk meneriakinya keras-keras. Sebagian penduduk berteriak sembari memanjat pohon itu, yang lain cukup berteriak dari bawah. Terus begitu sampai kira-kira 40 hari lamanya. Setelah masa itu, perlahan-lahan dedaunan pohon itu mulai mengering. Kemudian dahan-dahannya mulai rontok. Lama-lama pohon itu mati. Kini ia gampang ditebang.

Rumah-rumah kita, anak-anak Tuhan, tak jarang juga diwarnai dengan teriakan. Khususnya dari orangtua pada anak-anaknya di rumah. Bukan sesuatu yang dilakukan untuk sengaja menyakiti. Bisa jadi karena orangtua kelelahan bekerja sepanjang hari. Bisa jadi karena paradigma umum berkata bahwa orangtua yang sudah susah payah membesarkan anak-anak ”berhak melakukan apa saja” pada mereka. Padahal anak-anak sebenarnya tak selalu bersalah cukup besar hingga pantas diteriaki.

“Dasar anak bandel!” ”Memang kamu ini susah ya, dinasihati!” ”Sampai kapan sih, kamu berhenti jadi anak nakal?” ”Ah, bosan rasanya dapat laporan buruk tentang kamu!” ”Kamu lagi, kamu lagi!” ”Mengerjakan soal begini saja tidak bisa? Bodoh kamu!” ”Kamu bisa diam tidak? Berisik sekali!” Apakah Anda dekat dengan kata-kata seperti ini? Apakah rasanya Anda baru saja mendengar seseorang mengucapkannya? Atau malah, Anda sendiri baru saja melontarkannya? Sebenarnya bila boleh ditanya, apa yang kita rasakan saat mengucapkannya? Menjadi lega, sejahtera, merasa penuh kasih pada anak-anak? Atau, hanya puas secara semu karena melampiaskan kesal dan lelah pada sasaran yang tak mampu menjawab?

Penduduk primitif di Pulau Solomon telah membuktikan bahwa teriakan terus-menerus pada makhluk hidup tertentu, seperti pohon, bisa membuatnya mati. Ternyata, sebuah teriakan punya kekuatan. Dan teriakan negatif, tentu memuat dorongan negatif pula. Yang hasil paling akhirnya: mematikan! Maka bayangkan bila sebuah pohon bisa mati setelah diteriaki selama 40 hari, seberapa tahankah seorang anak bila kita ”meneriaki” mereka, apalagi dalam tahun-tahun mereka sedang bertumbuh? Dan apakah fungsi teriakan itu bagi mereka—apakah kita memikirkannya saat mengucapkannya?

Dulu saya juga tak menyadari, betapa merugikannya melontarkan kata-kata negatif pada anak. Kelelahan beraktivitas seharian bisa membuat saya tak sabar terhadap keadaan. Mudah menjadi kesal bila ada yang tak beres dengan anak-anak. Dan kondisi-kondisi ”mendung” di otak seakan begitu enteng mengundang kata-kata tak membangun untuk muncul di mulut ini. Padahal begitu muncul, seketika itu juga disesali. Sementara apa yang diucapkan lidah sudah tak mungkin diputar mundur lagi. Anak-anak sudah terlanjur mendengar dan merekamnya. Merasakannya di hati mereka. Mereka jadi terdiam sebab tak nyaman. Saya pun demikian.

Sampai suatu ketika saya mengikuti sebuah seminar pelayan anak. Satu sesi berkesan tentang ”Bahasa Kasih” menyadarkan saya. Betapa kata-kata yang penuh kasih itu menghidupkan; memberi semangat, menambah sukacita, menguatkan keunggulan, meneguhkan cita-cita. Sebaliknya, betapa kata-kata yang negatif itu mematikan; melemahkan semangat, memberi rasa bersalah, menghilangkan kepercayaan diri, menutupi kehebatan diri yang Tuhan berikan.

Lalu saya belajar melakukannya. Nyatanya, sekalipun kita memang mendapati kekurangan dalam diri anak-anak, kita dapat ”meramunya” dengan kata-kata yang ”lebih enak didengar”. Misalnya, bila ada seorang anak yang tidak tertib membereskan mainannya sendiri, kita bisa menghindari ucapan,”Begitu ya, cuma bisa mainan, gak bisa beresin! Dasar anak tidak tahu diri!” Kata-kata ini bisa sangat melukai; tak hanya anak kita, tetapi juga diri kita sendiri. Bukankah seharusnya tak terlalu sulit untuk mengatakannya begini,”Wah, anak Mama sudah besar, pasti bisa beresin mainan sendiri ya? Coba Mama lihat, pasti hebat!” Hasilnya, senyum di bibirnya dan bibir Anda, bahkan lebih dari itu, permintaan Anda pun berusaha ia penuhi!

Atau bila anak kita masih kesulitan dengan PR Matematika yang belum bisa ia selesaikan. Ketimbang berujar kasar, ”Sudah diikutin les pun kamu tidak bisa-bisa juga? Keterlaluan!” Apakah tidak jauh lebih baik kita memilih kalimat, ”Kalau kamu sudah tahu prinsipnya, rumusnya, kamu pasti bisa mengerjakan soal-soal ini. Sekarang kita coba pahami lagi rumusnya, pelan-pelan. Kamu pasti bisa dapat nilai bagus. Anak Papa kan tidak mudah menyerah? Ayo kita coba lagi ya?”

Selain mengubah celaan menjadi kalimat penyemangat, kita pun dapat menghilangkan teriakan-teriakan kita sendiri, dengan memperbanyak pujian bagi anak-anak. Siapa pun manusia, termasuk anak-anak, pasti suka mendapat pujian dan penghargaan. Maka janganlah pelit menghargai mereka. Ini apresiasi yang murah, tetapi dampaknya hebat! Bukankah kita takkan pernah rugi memuji anak-anak kita sendiri? Bukankah itu pada akhirnya juga menghargai diri kita sendiri?

”Wah, Niko hebat, sekarang bisa beresin tempat tidur sendiri! Masih pula lipat selimut kakak juga?” ”Wow, nilai ulanganmu bagus sekali! Pasti karena kamu belajarnya semakin rajin ya?” ”Sano, gambarmu bagus sekali. Wah, wah, Mama pun tidak bisa menggambar sebagus ini!” ”Duh, suara anakku kok merdu sekali ya. Apalagi kalau sedang menyanyikan pujian rohani seperti ini, menyejukkan hati!” ”Hebat, Andre sekarang suka berbagi berkat dengan teman-teman ya, kalau punya makanan tidak dihabiskan sendiri!” ”Wah, Serly sudah bisa pimpin doa untuk mulai kebaktian, lo! Hebat!”

Pujian tak harus selalu menunggu prestasi besar. Tak harus menunggu anak-anak kita menjadi juara dalam bidang tertentu. Sebab setiap perkembangan yang dicapai, adalah keberhasilan yang patut dirayakan. Dan setiap pujian, akan memancing keberhasilan berikutnya. (sumber:glorianet.org)

No comments: