DARI KITA UNTUK KITA
Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.
Pengkhotbah 3.11
Ayat di atas begitu sering saya lihat dan dengar, bahkan saya perkatakan tanpa begitu mengetahui benar-benar maknanya sampai saya sendiri mengalaminya.
Masa Lalu yang telah Kutinggalkan
Seringkali saya merasa malu dengan masa lalu saya, tapi kalau saat ini saya dapat menceritakannya itu berarti saya telah benar-benar berkemenangan atas hal ini. Sejak beberapa waktu yang lalu, saya telah bertekad untuk tidak lagi menoleh ke belakang dan menyesali keputusan-keputusan salah yang telah saya ambil. Saya mau bermegah dalam Kristus yang telah melakukan pekerjaan baik di dalam saya sejak saya masih kecil hingga sekarang (dan Ia akan terus menyempurnakannya hingga Ia datang kembali).
Masa kecil saya diwarnai dengan ketiadaan figur bapa dalam ayah saya. Ayah saya ada, namun hanya berfungsi sebagai pencari nafkah dalam keluarga. Jarang sekali kami bercakap-cakap dari hati ke hati dan menunjukkan kasih dengan hangat. Ditambah dengan perbuatannya yang menyakiti kami sekeluarga, lengkaplah kehilangan saya. Sekalipun figur bapa ini digantikan oleh kakek saya, tetap saja saya merasa ada yang kurang.
Hal itu membuat saya bertumbuh menjadi seorang remaja pemberontak dan haus kasih sayang. Haus akan perhatian dan waktu berkualitas, terutama dari lawan jenis. Sehingga masa remaja saya diisi dengan hubungan-hubungan dengan lawan jenis yang dimulai dengan cara yang tidak benar. Ketidakdewasaan mewarnai setiap hubungan yang terjalin, dan kami selalu eksklusif. Saking eksklusifnya sampai-sampai saat hubungan itu berakhir, saya mendapati diri saya tidak memiliki seorang teman dekat.
Lahir Baru, dan terus dalam Proses Pemulihan
Sampai setelah lahir baru dan menemukan tujuan hidup pun saya masih tetap bergumul dengan masalah pemenuhan kasih ini. Sekalipun saya tahu bahwa hanya Tuhan saja yang sanggup membuat saya utuh dengan kasih dan pribadiNya namun saya tidak imun terhadap lawan jenis yang memberikan banyak waktu bagi saya. Saya sempat terlibat konflik berkepanjangan dengan seorang teman karena hal ini. Saya salah menginterpretasikan perasaan saya sendiri.
Saya sempat dekat dengan seseorang. Awalnya biasa saja, tapi semakin lama semakin intens. Nurani saya memberikan alarm peringatan bahwa saya sedang menuju jalan yang salah. Tidak seharusnya saya dekat dengan orang ini. Namun saya berlogika bahwa saya biasa saja dan kami hanya berteman. Yah, saya sedang membohongi diri saya sendiri karena sebenarnya saya tidak mau kehilangan perhatian yang diberikannya. Hanya sebatas perhatiannya itulah ketertarikan saya padanya.
Tuhan Memberikan yang Terbaik, pada WaktuNya
Akhirnya karena tidak tahan dengan kemunafikan saya sendiri, saya bercerita pada seorang sahabat. Dia mendukung saya dengan tulus untuk melakukan apa yang hati nurani saya katakan. Dia berfungsi sebagai hati nurani saya juga saat itu. Badai yang terlihat dekat pun menjauh karena dia terus mendukung saya dalam doa dan memberikan kata-kata positif yang membangun iman saya. Saya sudah mengenalnya selama lebih kurang dua tahun sebagai seseorang yang setia. Namun sejak badai itulah kami semakin dekat. Kami saling berbagi dan membangun. Saya mendapati bahwa dia seorang yang mau terus belajar kebenaran dan dapat dipercayai.
Tanpa terasa perasaan saya berkembang menjadi sesuatu yang lain dan saya merasa ketakutan. Takut akan kehilangan seorang sahabat karena saya tidak tahu apakah dia memiliki perasaan yang sama terhadap saya. Takut jangan-jangan saya hanya tertarik kepada perhatiannya sama seperti yang lainnya dahulu. Takut saya akan merusak persahabatan kami hanya karena ketertarikan yang tidak jelas. Saya bergumul dengan ketakutan saya selama tiga bulan sebelum akhirnya Tuhan sadarkan bahwa saya siap berkomitmen untuk menerima sahabat saya ini apa adanya, bukan hanya sekedar tertarik. Tak lama kemudian, Tuhan pun singkapkan bahwa perasaan ini bersambut. Saya pernah mengatakan pada Tuhan apa yang saya inginkan dari seorang pasangan hidup. Tuhan memberikannya, bahkan melampaui apa yang saya pikirkan atau doakan.
Kalau dahulu saya tak dapat melihat apa maksud Tuhan, sekarang saya mengerti. Kalau dahulu saya pernah terpuruk dalam penyesalan, saat ini saya dapat melihat tanganNya yang membentuk dan menyertai saya. Kalau dahulu saya malu dengan masa lalu saya, hari-hari ini saya mau bermegah dalam Dia yang memulai pekerjaan yang baik dalam saya. Ketika saya melihat kaleidoskop hidup saya dari kecil hingga dewasa, barulah saya menyadari bagaimana tangan Tuhan merenda masa depan saya lewat semua yang saya alami itu. Dia pasti membuat segala sesuatu indah pada waktunya.(red)
Sunday, January 24, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment