FOKUS KITA - 1 Februari 2009
Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota. (Amsal: 16:32)
Sebuah trilogi film yang dibuat secara kolosal dan sempat booming beberapa tahun yang lalu, cukup menginspirasi saya. Sang pembuat film sangat piawai menampilkan detil peristiwa serta gambarnya, sehingga film tersebut terlihat hidup.
Salah satu gambar film tersebut yang membekas di benak saya adalah gambar sebuah kota kerajaan yang sangat besar dan indah yang berwarna putih. Kerajaan tersebut dikelilingi tembok yang tinggi, kokoh serta berlapis-lapis sebagai benteng pertahanannya. Di tambah lagi hanya ada satu pintu gerbang sebagai sarana keluar-masuk, dan tepat di luar tembok terdapat parit yang cukup lebar, serta ada banyak tentara pilihan yang berjaga-jaga di benteng tersebut selama 24 jam setiap hari. Bisa dipastikan bahwa setiap penyusup yang hendak memasuki kerajaan secara paksa akan kesulitan.
Ketika saya mengamati bentuk benteng tersebut, saya lalu teringat akan firman Tuhan dalam Amsal 25:28 yang berbunyi: Orang yang tak dapat mengendalikan diri adalah seperti kota yang roboh temboknya.
Saat merenungkan firman ini, saya mulai membayangkan bagaimana keadaan kerajaan putih dalam film tersebut jika tembok atau benteng pertahanannya runtuh, tinggal puing-puingnya saja. Pasti musuh akan segera menguasai serta menjarah seluruh isi kerajaan, membunuh semua penghuninya, lalu membakar ludes kota tersebut.
Ternyata, penting sekali arti tembok pertahanan bagi sebuah kota. Manakala tembok runtuh, dalam sekejap mata seluruh kehidupan sebuah kota yang dibangun dengan jerih payah selama berabad-abad langsung musnah.
Tembok atau benteng pertahanan seseorang adalah pengendalian dirinya. Jika seseorang tidak dapat mengendalikan dirinya, maka dengan mudah dirinya akan dikendalikan oleh hawa nafsunya. Yang lebih berbahaya, hawa nafsu dan emosi negatif seseorang tidak hanya akan menghancurkan dirinya saja, melainkan juga orang-orang di sekitarnya.
Sejenak, mari kita renungkan: berapa banyak orang yang menjadi pahit hati karena kata-kata kasar yang kita ucapkan saat dikuasai amarah dan kekecewaan? Berapa banyak orang yang kehilangan semangat dan pengharapan karena penghakiman kita yang dilatari keinginan atau standar pribadi kita tidak tercapai? Berapa banyak orang yang sakit hati dan remuk jiwanya karena kata-kata kita yang melecehkan dan tidak menghargai mereka? Berapa banyak orang yang terluka dan lelah karena pilihan, keputusan serta tindakan kita yang egois.
Seringkali, sebagai pelaku, kita membela sikap dan perbuatan kita yang tak terkendali dengan berkata “menjadi pahit hati dan terluka kan pilihan orang itu sendiri” atau “aku bukan malaikat yang bisa selalu menyenangkan orang, justru orang itu harus belajar menerima dan mengasihi aku tanpa syarat”.
Menjadi pahit hati dan terluka memang pilihan dan setiap orang percaya memang harus belajar mengasihi orang lain tanpa syarat. Tetapi, sikap dan perbuatan kita yang tak terkendali turut andil dalam memicu terjadinya pilihan yang salah tersebut. Bisa saja setelah menjadi tidak terkendali, kita meminta maaf kepada orang yang kita sakiti. Namun, apa yang kita ucapkan dan lakukan manakala tidak terkendali, seperti paku yang kita pakukan pada sebuah kayu. Dan, permintaan maaf kita memang mencabut paku-paku tersebut, tetapi… bekas lubang paku pada kayu itu tetap ada, bukan?
Kita tidak boleh bersembunyi dari tanggung jawab pribadi kita sebagai pembawa damai dan kasih karunia bagi orang lain dengan membela sikap kita yang tidak terkendali.
Mengambil waktu untuk tenang dan diam perlu kita lakukan untuk mengendalikan hawa nafsu, keinginan serta emosi kita yang negatif. Lepas kendali mendatangkan kehancuran. Pengendalian diri di tengah “kekacauan” akan membawa kita menemukan apa yang benar, berkenan di hadapan Allah dan mendatangkan kasih karunia dan kehidupan bagi diri sendiri serta orang lain. Biarlah hidup kita dikendalikan oleh Roh, firman serta kasih Allah, dan bukannya situasi, kondisi, perasaan ataupun ego kita.(l@)
Sunday, February 1, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment