Sunday, August 10, 2008

Ruangan

FOKUS KITA - 10 Agustus 2008

Ini adalah kisah Brian Moore, 17 tahun, yang ditulis olehnya sebagai tugas sekolah, dua bulan sebelum ia meninggal pada tanggal 27 Mei 1997. Ia sedang mengendarai mobilnya pulang ke rumah dari rumah seorang teman ketika mobil itu keluar jalur Jalan Bulen Pierce di Pickaway County dan menabrak tiang. Ia keluar dari mobilnya yang ringsek tanpa cedera, namun menginjak kabel listrik bawah tanah dan kesetrum. Brian telah menulis sebuah esai tentang pertemuannya dengan Yesus di suatu ruang arsip yang penuh kartu berisi rincian setiap peristiwa dalam kehidupannya. Tetapi, baru setelah kematian Brian, Bruce dan Beth Moore, orangtuanya, mengetahui bahwa anaknya telah menerangkan pandangannya tentang sorga. Orangtua Brian telah melupakan tulisan Brian ini sampai seorang saudara sepupu menemukannya ketika membersihkan kotak loker Brian di SMA Teays Valley, Pickaway County, Ohio. Tulisan itu menimbulkan dampak besar sehingga orang-orang ingin membagikannya. "Anda merasa seperti ada di sana ," kata Bruce. "Aku pikir Tuhan telah memakai Brian untuk menjelaskan suatu hal. Aku kira kita harus menemukan makna dari tulisan itu dan memetik manfaat darinya," kata Beth tentang esai itu. Orang tua Brian ingin membagikan penglihatan anak mereka tentang kehidupan setelah kematian. Berikut ini esai Brian yang berjudul "Ruangan".

Di antara sadar dan mimpi, aku menemukan diriku di sebuah ruangan dimana dindingnya penuh dengan kartu-kartu arsip yang kecil. Kartu-kartu arsip itu seperti yang ada di perpustakaan yang isinya memuat judul buku menurut pengarangnya atau topik buku menurut abjad. Tetapi arsip-arsip ini, yang membentang dari dasar lantai ke atas sampai ke langit-langit dan nampaknya tidak ada habis-habisnya di sekeliling dinding itu, memiliki judul yang berbeda-beda.

Arsip pertama yang menarik perhatianku berjudul "Cewek-cewek yang Aku Suka". Aku mulai membuka arsip itu dan membuka kartu-kartu itu. Aku segera menutupnya, karena terkejut melihat semua nama yang tertulis di dalamnya. Dan tanpa diberitahu siapapun, aku segera menyadari dengan pasti aku ada dimana.

Ruangan tanpa kehidupan dengan kartu-kartu arsip yang kecil-kecil ini merupakan katalog bagi garis besar kehidupanku. Di sini tertulis tindakan-tindakan setiap saat dalam hidupku, besar atau kecil, dengan rincian yang tidak dapat dibandingkan dengan daya ingatku. Perasaan kagum dan ingin tahu, bercampur ngeri, berkecamuk dalam diriku ketika mulai kubuka kartu-kartu arsip itu secara acak, menyelidiki isinya. Beberapa arsip membawa sukacita dan kenangan manis; yang lainnya membuatku malu dan menyesal sedemikian hebat sehingga aku melirik lewat bahuku untuk melihat apakah ada orang lain yang melihat arsip ini.

Judul arsip-arsip itu berkisar dari hal-hal biasa yang membosankan sampai hal-hal yang aneh. Arsip "Teman-Teman", "Teman-teman yang Aku Khianati". "Buku-buku Yang Aku Telah Baca". "Dusta-dusta yang Aku Katakan". "Penghiburan yang Aku Berikan". "Lelucon yang Aku Tertawakan". Beberapa judul sangat tepat menjelaskan kekonyolannya: "Makian Buat Saudara-saudaraku". Arsip lain memuat judul yang sama sekali tak membuat aku tertawa: "Hal-hal yang Aku Perbuat dalam Kemarahanku.", "Gerutuanku terhadap Orangtuaku". Tak hentinya aku dikejutkan oleh isi arsip-arsip ini. Seringkali ada lebih banyak kartu arsip tentang suatu hal daripada yang aku bayangkan. Kadang ada yang lebih sedikit dari yang kuharapkan. Aku terpana melihat seluruh isi kehidupanku yang telah kujalani seperti yang direkam dalam arsip ini. Setiap kartu arsip itu menegaskan kenyataan hidupku. Setiap kartu ditulis dan ditandatangani oleh tanganku sendiri.

Ketika menarik kartu arsip "Pertunjukan-pertunjukan TV yang Aku Tonton", aku menyadari bahwa arsip ini semakin banyak isinya. Di sana acara TV yang kutonton disusun dengan padat, dan setelah 2 atau 3 yard, aku tak dapat menemukan ujung arsip itu. Aku menutupnya, merasa malu, bukan karena kualitas tontonan TV itu, tetapi karena betapa banyaknya waktu yang telah aku habiskan di depan TV seperti yang ditunjukkan di dalam arsip ini. Ketika kubuka arsip "Pikiran-Pikiran Kotor", aku merasa merinding di sekujur tubuhku. Aku menarik arsip ini hanya 1 inci, tak mau melihat seberapa banyak isinya, dan menarik sebuah kartu arsip. Aku terperangah melihat isinya yang lengkap dan persis. Aku mual mengetahui bahwa ada saat di hidupku yang pernah memikirkan hal-hal kotor seperti yang dicatat di sana. Aku merasa marah.

Satu pikiran menguasaiku: Tak seorangpun boleh melihat isi kartu-kartu in! Tak seorangpun boleh masuk ruangan ini! Aku harus menghancurkan arsip-arsip ini! Dengan mengamuk bagai orang gila aku mengacak dan melemparkan kartu-kartu arsip ini. Tak peduli berapa banyak kartu arsip ini, aku harus mengosongkan dan membakarnya. Namun, saat aku mengambil dan menaruhnya di suatu sisi serta menumpuknya di lantai, aku tak dapat menghancurkan satupun. Aku mulai putus asa. Saat kutarik sebuah kartu arsip, kudapati kartu itu sekuat baja saat kucoba merobeknya. Merasa kalah dan tak berdaya, aku mengembalikan kartu arsip itu ke tempatnya. Sambil menyandarkan kepalaku di dinding, aku mengeluarkan keluhan panjang yang mengasihani diri sendiri.

Lalu aku melihat kartu berjudul "Orang-orang yang Pernah Aku Bagikan Injil". Kotak arsip ini lebih bercahaya dibandingkan kotak arsip di sekitarnya, lebih baru, dan hampir kosong isinya. Aku tarik kotak arsip ini dan sangat pendek, tidak lebih dari 3 inci panjangnya. Aku dapat menghitung jumlah kartu-kartu itu dengan jari di satu tangan. Dan kemudian mengalirlah air mataku. Aku mulai menangis. Sesenggukan begitu dalam sehingga sampai terasa sakit. Rasa sakit itu menjalar dari dalam perutku dan mengguncang seluruh tubuhku. Aku jatuh tersungkur, berlutut, dan menangis. Aku menangis karena malu, dikuasai perasaan yang memalukan karena perbuatanku. Jajaran kotak arsip ini membayang di antara air mataku. Tak ada seorangpun yang boleh melihat ruangan ini! Aku harus mengunci ruangan ini dan menyembunyikan kuncinya. Namun ketika aku menghapus air mata ini, aku melihat Dia.

Oh, jangan Dia! Jangan di sini. Oh, yang lain boleh asal jangan Yesus! Kupandang tanpa daya saat Ia mulai membuka arsip-arsip itu dan membaca kartu-kartunya. Aku tak tahan melihat reaksiNya. Saat aku memberanikan diri memandang wajahNya, kulihat dukacita yang lebih dalam dari pada dukacitaku. Seperti dengan intuisi yang kuat, Ia dapati kotak-kotak arsipku yang paling buruk. Mengapa Ia harus membaca setiap arsip ini? Akhirnya Ia berbalik dan memandangku dari seberang di ruangan itu dengan rasa iba di mataNya, bukan rasa marah. Aku menundukkan kepala, menutup wajah dengan tangan dan mulai menangis lagi. Ia berjalan mendekat, merangkulku. Harusnya Ia bisa mengatakan banyak hal, namun Ia tak berkata apa-apa. Ia hanya menangis bersamaku.

Lalu Ia berdiri, berjalan kembali ke arah dinding arsip-arsip. Mulai dari ujung Ia mengambil satu demi satu arsip dan menandatangani namaNya di atas tanda tanganku pada masing-masing kartu arsip. "Jangan!" seruku bergegas ke arahNya. Yang bisa kukatakan hanya "Jangan!" sast merebut kartu itu dariNya. NamaNya jangan sampai tertulis di sana. Namun, tanpa dapat kucegah, tertulis di semua kartu itu namaNya dengan tinta merah, begitu jelas, dan begitu hidup. Nama Yesus menutupi namaku. Kartu itu ditulisi dengan darahNya! Ia dengan lembut mengambil kembali kartu-kartu yang kurebut. Ia tersenyum sedih, mulai menandatangani semua kartu. Aku tidak pernah mengerti bagaimana Ia melakukannya dengan begitu cepat sampai menyelesaikan kartu terakhir lalu berjalan mendekatiku. Ia menaruh tanganNya di pundakku dan berkata, "Sudah selesai!" Aku bangkit berdiri, Ia menuntunku ke luar ruangan itu. Tidak ada kunci di pintu ruangan itu. Masih ada kartu-kartu yang akan ditulis dalam sisa hidupku.

No comments: