INSPIRATIONAL STORY - 29 Juni
Dengan kepala menunduk, anak muda yang kelelahan namun tetap bersemangat itu mengucapkan sesuatu berulang-ulang kepada diri sendiri, “Kau bisa. Kau bisa. Kau bisa.” Kata-kata ini selain untuk menambah semangat, juga untuk penegasan, terdengar sampai ke hati. Kata-kata ini kemudian seperti suatu tenaga tambahan untuk mengangkat kaki yang satu ke depan kaki yang lain, naik kemudian turun–terus berulang-ulang. Perhatian anak muda itu terpusat ke bawah, ke sepasang sepatu barunya yang dengan berirama menyentuh aspal secara bergantian. Ini lomba yang sanagt menguras tenaga. Sesekali ia menengadah dan sambil mengusap keringat di keningnya, ia mengintip garis finish. ”Sudah dekat,” katanya kepada diri sendiri. Sebetulnya garis finish itu masih jauh. Kendatipun demikian, Chris Burke, sang pelari, telah berketetapan hati untuk meraihnya.
Dengan perjuangan hebat, akhirnya ia pun memintas garis finish. Pada waktu itu, para juru foto dan wartawan telah berkumpul mengerumuni pemuda yang berhasil menduduki tempat pertama. Kamera-kamera berlensa pembesar bergantian mengeluarkan kilat-kilat cahayanya; mikrofon-mikrofon diulurkan untuk menangkap komentar sang juara.
Dengan senyum yang sangat lebar, sebagai sesama pemenang, Chris melompat mendekat, kemudian berdiri dengan bangga di samping pemenang pertama. Ia merangkulkan lengannya ke pundak pemuda seusianya—seseorang yang belum pernah dikenalnya sebelum perlombaan ini. Sambil terus menebar senyumnya, Chris dengan sabar menunggu wartawan selesai mewawancarai sang pemenang. Ketika akhirnya wartawan mengalihkan kameranya untuk membuat kesimpulan bagi pemirsa televisi, Chris dengan segera melangkah majudan mengulurkan tangan untuk menerima ucapan selamat. ”Oh, boy!” Seru Chris, tidak kuat menahan kegembiraannya yang meluap-luap. ”Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku sangat bahagia menjadi juara ketiga!” Sang wartawan tidak mempunyai pilihan lain selain menanggapi atlet yang tampil begitu mengesankan, begitu bersemangat, begitu ingin mendapat pengakuan.
”Ya..ceritakan kepada kami,” sahut wartawan yang masih terkejut dengan bijak.
”Wow!” Kata Chris. ”Terima kasih karena mewawancarai aku. Luar biasa! Sungguh luar biasa. Aku bahagia sekali dapat berada di sini. Ini sebuah kehormatan yang besar. Tentu saja, aku hanya menjadi pemenang ketiga. Tapi ini tidak jelek! Tidak jelek, bukan?” Ia tidak membutuhkan jawaban atas pertanyaan ini dan ia tidak menunggu jawaban. Sebagai ganti, ia menyodorkan wajahnya ke kamera agar seluruh dunia dapat melihat. Chris berkata, ”Terima kasih kepada semua yang mau ikut bergembira denganku dalam peristiwa yang istimewa ini. Mari kita rayakan!” Setelah berkata demikian, Chris berbalik, lalu ikut berbaris di deretan para pemenang untuk menerima pelukan dan ucapan selamat.
Chris berusia 14 tahun pada saat itu. Ia salah satu peserta dalam Olimpiade Khusus bagi Para Cacat. Pada lomba yang diikutinya, hanya ada tiga pelari.
(Chicken Soup for the Unsinkable Soul)
Dengan kepala menunduk, anak muda yang kelelahan namun tetap bersemangat itu mengucapkan sesuatu berulang-ulang kepada diri sendiri, “Kau bisa. Kau bisa. Kau bisa.” Kata-kata ini selain untuk menambah semangat, juga untuk penegasan, terdengar sampai ke hati. Kata-kata ini kemudian seperti suatu tenaga tambahan untuk mengangkat kaki yang satu ke depan kaki yang lain, naik kemudian turun–terus berulang-ulang. Perhatian anak muda itu terpusat ke bawah, ke sepasang sepatu barunya yang dengan berirama menyentuh aspal secara bergantian. Ini lomba yang sanagt menguras tenaga. Sesekali ia menengadah dan sambil mengusap keringat di keningnya, ia mengintip garis finish. ”Sudah dekat,” katanya kepada diri sendiri. Sebetulnya garis finish itu masih jauh. Kendatipun demikian, Chris Burke, sang pelari, telah berketetapan hati untuk meraihnya.
Dengan perjuangan hebat, akhirnya ia pun memintas garis finish. Pada waktu itu, para juru foto dan wartawan telah berkumpul mengerumuni pemuda yang berhasil menduduki tempat pertama. Kamera-kamera berlensa pembesar bergantian mengeluarkan kilat-kilat cahayanya; mikrofon-mikrofon diulurkan untuk menangkap komentar sang juara.
Dengan senyum yang sangat lebar, sebagai sesama pemenang, Chris melompat mendekat, kemudian berdiri dengan bangga di samping pemenang pertama. Ia merangkulkan lengannya ke pundak pemuda seusianya—seseorang yang belum pernah dikenalnya sebelum perlombaan ini. Sambil terus menebar senyumnya, Chris dengan sabar menunggu wartawan selesai mewawancarai sang pemenang. Ketika akhirnya wartawan mengalihkan kameranya untuk membuat kesimpulan bagi pemirsa televisi, Chris dengan segera melangkah majudan mengulurkan tangan untuk menerima ucapan selamat. ”Oh, boy!” Seru Chris, tidak kuat menahan kegembiraannya yang meluap-luap. ”Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku sangat bahagia menjadi juara ketiga!” Sang wartawan tidak mempunyai pilihan lain selain menanggapi atlet yang tampil begitu mengesankan, begitu bersemangat, begitu ingin mendapat pengakuan.
”Ya..ceritakan kepada kami,” sahut wartawan yang masih terkejut dengan bijak.
”Wow!” Kata Chris. ”Terima kasih karena mewawancarai aku. Luar biasa! Sungguh luar biasa. Aku bahagia sekali dapat berada di sini. Ini sebuah kehormatan yang besar. Tentu saja, aku hanya menjadi pemenang ketiga. Tapi ini tidak jelek! Tidak jelek, bukan?” Ia tidak membutuhkan jawaban atas pertanyaan ini dan ia tidak menunggu jawaban. Sebagai ganti, ia menyodorkan wajahnya ke kamera agar seluruh dunia dapat melihat. Chris berkata, ”Terima kasih kepada semua yang mau ikut bergembira denganku dalam peristiwa yang istimewa ini. Mari kita rayakan!” Setelah berkata demikian, Chris berbalik, lalu ikut berbaris di deretan para pemenang untuk menerima pelukan dan ucapan selamat.
Chris berusia 14 tahun pada saat itu. Ia salah satu peserta dalam Olimpiade Khusus bagi Para Cacat. Pada lomba yang diikutinya, hanya ada tiga pelari.
(Chicken Soup for the Unsinkable Soul)
No comments:
Post a Comment