Saturday, April 17, 2010

Remah-Remah Roti

INSPIRATIONAL STORY


Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku. (Matius 25.25-26)

Saya sangat senang karena baru saja menerima paket sampul depan buku saya yang semoga saja segera terbit. Saya telepon istri saya lalu saya pergi ke tempat dia bekerja, di sebuah restoran yang menyediakan pizza, sehingga kami dapat makan siang bersama. Sembari menunggu dia selesai bekerja, saya duduk di tempat duduk yang berada di ujung paling belakang.

Saat saya sedang duduk itulah saya melihat seorang lelaki berusia sekitar tigapuluh tahunan berjalan di parkiran sambil menenteng sebuah kotak kecil pizza yang baru saja dibelinya di mini market seberang jalan. Dia berjalan masuk ke restoran, langsung mengambil minuman dan duduk di meja seberang kanan depan saya.

Diletakkannya kantung kertas yang besar dan kotor yang berisi baju-bajunya di lantai. Lalu dia mengambil kertas tisu dari sebuah kotak besi untuk mengelap tangannya yang kotor. Dia mengambil tisu lagi dan meletakkannya di atas meja serta mengatur peralatan makannya di atas tisu itu. Tidak perlu diragukan lagi, lelaki ini seorang tuna wisma dan perlu mandi. Dia tidak bercukur selama berbulan-bulan. Rambutnya sangat berminyak, demikian juga kulitnya.

Dia mengambil kotak pizzanya, mengeluarkan sepotong kecil pizza dari kotak itu, dan meletakkannya di atas tisu. Lalu dengan gerakan yang sangat lambat dan berhati-hati dia mulai menggigit kecil pizza itu, sebuah gigitan yang amat kecil.

Saya berpikir bagaimana mungkin seseorang membeli sepotong pizza dari sebuah toko lalu masuk ke restoran untuk duduk dan memakannya di situ.

Orang itu akhirnya selesai makan. Lalu dia melakukan sesuatu yang tidak mungkin saya lupakan. Dia ambil kotak pizza itu, memiringkannya sehingga remahan-remahan pizza yang tertinggal menumpuk di satu sudut kotak itu. Dia membasahi jari telunjuknya dan mengambil remahan-remahan itu dengan jarinya. Saya dapat melihat dia mencoba menikmati setiap remahan pizzanya.

Tenggorokan saya tercekat dan mata saya terasa panas dan mulai berair. Terasa menyakitkan saat melihat itu. Saya serasa melihat diri saya sendiri tigapuluh delapan tahun yang lalu, saat saya berusia tigabelas tahun. Kedinginan dan kelaparan. Kotor dan tak ada seorangpun yang mau menolong maupun mempedulikan. Tak ada seorangpun mengasihi saya ataupun peduli entah saya hidup atau mati. Tak ada tempat untuk mencuci baju-baju kotor saya yang terasa keras dan kasar di kulit. Tak ada tempat yang aman dan hangat untuk tidur.

Lelaki itu memiringkan kotak kecil pizzanya seperti yang telah saya lakukan berkali-kali saat saya hidup di jalanan. Mengais makanan dari bak sampah dan mandi di toilet pompa bensin adalah sebuah kemewahan yang tak terlupakan. Setiap remah kecil makanan, sekalipun itu dari bak sampah, benar-benar saya nikmati karena dapat menyambung hidup saya sehari.

Akhirnya istri saya duduk di depan saya. Segera saya menghindari pandangannya, bangkit dari tempat duduk, dan menuju tempat untuk meletakkan piring kotor agar dia tidak melihat mata saya. Saya tak tahu apa yang harus saya lakukan ataupun katakan. Saya merasa tak berdaya dan serba salah. Sebagian besar masa lalu saya sangat menyerupai apa yang saya lihat dengan mata kepala saya sendiri saat itu. Sangat mirip dengan keadaan lelaki muda itu, dan semua kenangan itu menyerbu saya.

Dengan batuk kecil, saya legakan tenggorokan saya dan menguasai diri saya. Tiba-tiba istri saya sudah berdiri di belakang saya dan berkata,” Roger, ambilkan pizza untuk orang itu.”

Tanpa mengatakan apapun saya langsung mengambil empat potong besar pizza dan beberapa pencuci mulut. Saya meletakkannya di hadapan dia sambil berkata,” Kami akan segera membuangnya. Mungkin Anda mau mengambilnya.” Dia tidak melihat saya karena pandangannya terpaku di meja. Saat saya berlalu, saya sentuh punggungnya dengan lembut, seperti yang saya harapkan akan dilakukan seseorang kepada saya tigapuluh delapan tahun yang lalu.

Saya harap lelaki itu tahu bahwa ada seseorang di suatu tempat yang mempedulikannya, menganggapnya manusia. Saya tak tahu manfaat pukulan yang saya dapatkan di rumah yatim piatu maupun sekolah, namun saya bersyukur karena saya tak pernah melupakan bagaimana rasanya berada dalam kondisi terburuk, terbuang, kotor dan kelaparan. (dra/ internet)

No comments: