FOKUS KITA
Seorang gadis yang berasal dari keluarga yang cukup berada pernah berkata kepada temannya, “Aku punya cita-cita ingin menikah dengan seorang pria yang kaya raya.” Temannya bertanya, “Mengapa kamu ingin menikah dengan pria kaya? Bukankah kamu sudah cukup berada. Toh, kamu juga tidak kelaparan. Apalagi yang kurang?”
Sembari tersenyum sendiri membayangkan akan menikah dengan pria yang kaya, si gadis menjawab, “O, aku ingin punya suami yang kaya supaya bisa mendukung banyak pekerjaan Tuhan dengan uangku. Aku ingin sekali memberikan bantuan dana yang banyak supaya pekerjaan Tuhan bisa semakin berkembang.”
Sang teman berkata, “Wah, tujuanmu mulia ya. Lalu, apa yang sudah kamu lakukan dengan harta dan talenta yang Tuhan percayakan padamu sekarang?”
“Ah, untuk sekarang… ya… aku berikan sekedarnya saja lah. Aku masih punya banyak kebutuhan. Aku perlu membeli baju dan sepatu baru yang kusuka. Aku masih ingin berwisata kuliner di restoran-restoran yang besar dan tamasya ke tempat-tempat indah di dunia ini. Nanti saja kalau aku sudah menikahi pria kaya, akan kuberikan lebih bagi pekerjaan Tuhan.”
~~~~~~~~
Apakah kita pernah mendengar cerita senada di atas dalam keseharian kita? Atau mungkin kita sendiri yang memiliki cita-cita masa depan yang ‘mulia’ seperti cerita di atas? Ingin ‘berbuat lebih banyak’ bagi pekerjaan Tuhan? Namun, kita juga punya sikap yang sama seperti gadis di atas dengan segala talenta dan harta yang kita miliki saat ini. Kita menunggu waktu untuk menjadi ‘lebih’ tanpa berbuat apa-apa, atau berbuat sesuatu dengan sekedarnya. Kita menunggu untuk menjadi lebih kaya, lebih terampil dan ahli, lebih rohani, lebih ‘punya hati’, dan lebih lainnya.
Sadarkah kita bahwa sejak menerima anugerah keselamatan dari Tuhan, sesungguhnya kita telah diberikan benih ‘kelebihan’ (plus). Hanya saja kita tidak pernah menyadarinya, sehingga kita tidak merasa bertanggung jawab untuk mempergunakannya secara maksimal, sehingga kelebihan itu bisa benar-benar memiliki nilai ‘lebih’ (plus).
Renungkan hal ini:
Manusia yang (-) alias MINUS karena jatuh dalam dosa, berpindah posisi menjadi (+) alias PLUS oleh karya penebusan Kristus. Itulah sebabnya simbol salib adalah PLUS, karena manusia diubah dari posisi minus kepada plus dalam segala aspek kehidupan/holistik. Tidak hanya memiliki hidup yang baru, tetapi manusia beroleh hikmat dan kasih karunia untuk mengembangkan semua talenta dan mengelola setiap berkat yang sudah Tuhan berikan secara cerdas serta maksimal sehingga tidak hanya dirinya sendiri yang akan diberkati. Tetapi, orang lain pun akan diberkati ketika manusia baru di dalam Kristus ‘berfungsi’, membagikan apa yang dimilikinya kepada sesama yang membutuhkan. Inilah arti memberi nilai ‘lebih’ (plus) kepada benih kelebihan yang sudah Tuhan taruh dalam hidup kita.
Karena itu,
Jangan Lakukan:
1. Berpikir bahwa kita masih ‘kurang’ (minus). Kita sudah memiliki kelebihan. Yang kita perlukan adalah menggunakan kelebihan itu dan memberikannya nilai ‘lebih’ saat membagikannya kepada sesama yang membutuhkan.
2. Berpikir bahwa kita tidak punya segala yang baik sehingga tidak bisa berbuat kebaikan apa-apa, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Setiap orang yang telah menerima penebusan Kristus memiliki benih kebaikan dalam hidupnya. Pikirkan saja kebaikan yang paling sederhana yang bisa Anda lakukan dan… LAKUKAN.
3. Duduk diam, menunggu tanpa berbuat apa-apa. Perubahan datang karena kita mengusahakannya, dengan berdoa dan bekerja cerdas (tidak cukup hanya bekerja keras dengan kekuatan kita, tetapi dengan kecerdasan serta hikmat).
Lakukan:
1. Setia mengembangkan setiap hal kecil yang Tuhan percayakan secara maksimal. Jangan terfokus pada penantian “kapan saatnya Tuhan ‘menambahkan’”. Segala promosi (termasuk kesempatan dan pertambahan) berasal dari Tuhan, disediakan bagi orang yang setia dan bertanggung jawab memaksimalkan talenta yang Ia percayakan. Mau ‘lebih’? Kembangkan dulu apa yang sudah ada!
2. Setia menabur mulai dari ‘sedikit’ yang kita miliki. Latih diri kita melakukan kebaikan-kebaikan maupun hal-hal praktis untuk menjawab di kebutuhan sekitar kita. Jangan pelit dan jangan berhenti pada melakukan hal ‘kecil’. Latih diri kita menabur semakin banyak. Semakin maksimal kita melipatgandakan apa yang Tuhan percayakan, Tuhan akan semakin menambahkan ke’lebih’an itu, terlebih jika itu untuk dibagikan kepada sesama yang membutuhkan.
3. Usahakan kebaikan sampai batas akhir kemampuan kita. Jika kita bisa memberi dan melakukan lebih, mengapa hanya sekedarnya? Jika kita bisa membeli dengan ‘mahal’, mengapa memberi dengan ‘murah’? Jika usaha kita belum sampai pada batas akhir kemampuan, mengapa kita berani berkata sudah berusaha semaksimal yang kita bisa? Jika kita mengharapkan ‘lebih’ dari Tuhan, mengapa kita tidak berani menantang diri sendiri untuk memberi dan mengusahakan ‘lebih’ bagi Tuhan dan sesama?(l@)
Sunday, April 11, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment