REFLEKSI - 7 September 2008
Ketika masih seorang mahasiswi baru, itu adalah masa-masa awal pertobatan saya. Kala itu orang tua saya belum mengetahui pertobatan saya. Biaya hidup yang mereka kirimkan setiap bulan hanya cukup untuk membayar uang kos, makan dan fotokopi materi kuliah saya. Tidak ada sisa untuk jajan, apalagi untuk bepergian. Beruntung jarak kampus tempat saya belajar dengan kos agak dekat, sehingga bisa saya jangkau dengan berjalan kaki kurang lebih 20 menit (menghemat ongkos angkot). Saya juga selalu menyempatkan diri pulang ke kos untuk makan jika lapar.
Di gereja saya terlibat dalam komsel. Sebagai petobat baru, saya sangat senang berkumpul bersama saudara seiman . Terkadang, kami fellowship bersama ke luar kota di akhir Minggu dan menginap semalam di sana. Tetapi, seringkali saya merasa sedih karena tidak punya uang untuk bisa pergi bersama mereka. Entah bagaimana, saya bisa ikut pergi juga. Sampai suatu hari, sepulang dari luar kota saya mengetahui bahwa salah seorang kakak pembina telah menolong saya secara finansial sehingga saya bisa pergi bersama mereka. Saya kenal orangnya dan saya terharu karenanya. Bagi orang sekaya dia, uang Rp. 10.000,- yang diinvestasikan untuk saya mungkin bukan apa-apa, tetapi bagi saya, sangat besar artinya. Saya berkata kepadanya, “Terima kasih, Kak, untuk investasinya. Aku pastikan pengorbanan kakak untukku tidak akan sia-sia.” Sejak saat itu, saya berjanji dalam hati, bahwa saya tidak akan menyia-nyiakan investasi yang telah diberikannya kepada saya, caranya adalah dengan terus memacu diri saya untuk bertumbuh sampai sekarang dan belajar berfungsi untuk orang lain juga.
Ada banyak cara yang dipakai orang untuk menghargai pengorbanan ataupun investasi yang diberikan orang lain untuknya. Cara yang umum adalah dengan bersikap baik kepada pribadi yang telah berkorban, terus menyanjung-nyanjung, mengingat pribadinya, bahkan berani mati membelanya. Ibu saya adalah orang yang berperan besar dalam pertobatan saya. Dia meninggal 8 tahun yang lalu. Saya punya cara sendiri untuk menghargainya. Bukan dengan mengingat-ingat wajahnya, masa-masa indah bersama, tatapan ataupun belaian kasihnya (saya bahkan lupa bagaimana rasanya memiliki ibu). Rasa terima kasih dan penghargaan seumur hidup saya terhadapnya adalah dengan menghidupi apa yang telah diteladankannya bagi saya, yaitu mengasihi Yesus seumur hidup dan berani hidup sesuai kehendak firmanNya, sang Investor Agung. (l@)
Saturday, September 6, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment