Saturday, November 27, 2010

Bukan untuk Menyenangkan Orang, Tetapi Menjadi Terang

FOKUS KITA


Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang.

-I Korintus: 9:19-

Pada suatu hari yang dingin di bulan Desember beberapa tahun yang lalu, seorang anak kecil berusia sekitar 10 tahun sedang berdiri di trotoar, di depan sebuah toko sepatu. Dia sedang melihat ke dalam toko lewat jendela kaca, dan tubuhnya gemetaran karena kedinginan. Anak ini tidak mengenakan sepatu.

Seorang wanita mendekati anak itu dan berkata, "Ah, kamu kelihatannya sedang berpikir keras sekali!"

"Iya, Nyonya. Saya sedang meminta Tuhan untuk memberikan kepada saya sepasang sepatu," jawab anak kecil itu.

Tiba-tiba wanita itu menarik tangan anak itu dan masuk ke dalam toko. Wanita itu meminta salah seorang karyawan toko untuk mengambilkan setengah lusin kaos kaki berukuran kecil. Lalu, wanita itu meminta apakah bisa disediakan air dan handuk. Karyawan itu segera mengambilkan.

Kemudian wanita itu menuntun anak kecil itu ke bagian belakang toko, dan menanggalkan sarung tangannya dan berlutut. Ia membasuh kaki mungil anak itu lalu mengeringkannya dengan handuk.

Saat dia selesai membersihkan kaki anak itu, karyawan toko sudah kembali dengan membawakan kaos kaki. Setelah memakaikan kaos kaki ke kaki anak kecil yang sangat kedinginan itu, wanita itu membeli sepasang sepatu bagi anak itu.

Dia memasukkan kaos kaki selebihnya ke kantong kecil dan memberikannya kepada anak itu. Sambil membelai lembut kepala anak itu dia berkata, "Pasti kamu merasa lebih nyaman sekarang."

Seraya, wanita itu berpaling untuk pergi, anak kecil yang masih terheran-heran itu memegang tangan wanita itu dan memandang wajahnya, dengan air mata yang berlinangan di pipi dia bertanya, "Apakah Nyonya istrinya Tuhan?"

Beberapa waktu yang lalu saya melakukan perjalanan ke sebuah tempat dimana latar belakang budaya dan kebiasaan orang-orangnya berbeda dengan keseharian saya. Itu bukanlah perjalanan saya yang pertama kali ke sana, melainkan yang kesekian kalinya dan saya memiliki banyak teman baik di sana.

Selama berada di tempat tersebut, saya berusaha menempatkan dan menyesuaikan diri sebaik yang saya bisa di antara masyarakat di saya. Saya berusaha bersikap sesuai nilai-nilai luhur yang ada di tempat tersebut dengan maksud menghormati, menghargai dan beridentifikasi dengan kehidupan di tempat tersebut. Saya tidak ingin menciptakan tembok pemisah antara saya dengan mereka dengan mempertahankan sikap dan kebiasaan kesehariaan saya, terlebih mereka mengenal saya sebagai salah seorang aktivis/pelayan gereja.

Tentu saja saya tidak sedang berpura-pura atau menipu mereka dengan berlaku sesuai nilai-nilai luhur masyarakat setempat demi mendapatkan simpati dan kasih sayang mereka. Saya tulus melakukannya, namun tetap tidak meninggalkan karakter saya yang sebenarnya. Saya belajar menjadi teman mereka, mendengarkan mereka serta melayani mereka.

Sayangnya, perjalanan saya yang terakhir ke tempat itu diwarnai insiden yang ‘kurang menyenangkan’ akibat salah paham dan asumsi dari beberapa orang yang saya kenal di sana. Saya sempat sedih dan protes mendengar berita-berita miring mengenai saya yang berhembus di sana. Rasanya segala sikap dan perbuatan baik saya selama di tempat itu menjadi tidak berarti. Rasanya setiap ketulusan dan penerimaan mereka seperti pura-pura saja. Dan setiap perkataan manis mereka terdengar seperti kebohongan di telinga dan hati saya. Saya hampir-hampir tidak memahami mereka.

Saya sempat mengeluh kepada Tuhan dan teman dekat saya. Tanpa bermaksud membela diri, saya mengeluh, “Apa yang kurang dariku? Aku sudah berusaha bersikap baik dan berbuat baik kepada mereka, tapi mengapa mereka menikam saya dari belakang? Mengapa mereka begitu tertarik ‘mengurusi’ saya? Hal-hal yang bukan esensi maupun prinsip mengapa di-blow up begitu rupa? Mengapa penampilan ‘lahiriah’ terkesan lebih penting untuk mereka ‘urusi’ ketimbang hal-hal prinsip? Jangan-jangan cara aku makan, berjalan dan tidurpun dikoreksi oleh mereka. Pendek kata, mengapa mereka hanya mementingkan penampilan luar daripada isi hati dan alasan benar dibalik penampilan itu? Padahal mereka sama-sama orang Kristen.”

Beberapa teman dekat saya menghibur dan menguatkan saya. Teman terdekat saya dengan bijak menyemangati saya, “Kehidupan rohani yang excellent saja tidak cukup. Apalagi ketika kamu masuk ke sebuah tempat yang sangat berbeda budaya dan nilai-nilainya. Mereka benar-benar melihat cara hidupmu di tengah-tengah mereka, apakah cara hidupmu benar-benar se-excellent kehidupan rohanimu. Itulah cara mereka ‘membaca’ Injil, yaitu melalui kehidupan yang kamu tampilkan. Sudah bagus kamu berusaha bersikap dan berbuat baik di tengah mereka. Mungkin ada beberapa orang yang melihatmu ‘masih kurang’. Tapi, jangan menyerah. Teruslah bersikap baik dan berbuat baik, karena akan tiba waktunya justru mereka akan diberkati olehmu dan ‘dimenangkan’ oleh kelakuanmu.”

Usai teman saya menyemangati saya, Tuhan mengingatkan saya kehidupan Paulus dalam 1 Korintus 9:19-23. Bagaimana dia hidup di antara orang-orang yang berbeda budaya dan nilai-nilai dengannya. Tanpa keluar dari prinsip kebenaran, dia hidup seperti orang-orang yang dilayaninya. Bukan untuk menyenangkan atau memuaskan mereka, tetapi supaya ia dapat memenangkan semakin banyak orang.

Saya dan Anda tidak akan pernah bisa memuaskan orang banyak dengan sikap maupun perbuatan baik kita, sebab tingkat kepuasan setiap orang berbeda-beda. Dan hal itu memang bukan alasan yang tepat untuk setiap sikap dan tindakan baik kita. Kalau kita bersikap dan berbuat baik, itu bukan untuk menyenangkan orang (sekalipun itu berdampak pada kepuasan orang). Tapi supaya orang banyak dapat ‘membaca’ Injil lewat hidup kita. Sekalipun budaya maupun nilai-nilai luhur dalam masyarakat adalah buatan manusia, tetapi selama itu tidak bertentangan dengan firman Tuhan, bahkan justru menguntungkan (mendukung) pemberitaan Injil, kita patut mengusahakan sekuat tenaga kita untuk melakukannya. Bukan hanya sekali, atau ketika mood kita sedang baik saja, tetapi terus-menerus. Bukan untuk menyenangkan orang, tetapi supaya terang kita semakin bercahaya, sehingga banyak orang diselamatkan dan dipulihkan lewat hidup kita. Itulah esensinya. (l@)

No comments: