FOKUS KITA
Sejak masih kanak-kanak, saya sangat menyukai pelajaran seni rupa. Saya menaruh minat yang besar terutama pada seni lukis dan seni pahat, tetapi kesempatan untuk mendapat pengajaran dan praktek seni memahat baru saya dapatkan ketika duduk di bangku kelas satu SMA.
Proyek seni pahat saya yang pertama dan yang tidak pernah saya lupakan adalah memahat guci dari gypsum. Waktu itu Pak Guru membebaskan kami untuk membuat pahatan di tubuh guci yang masih berwarna putih polos. Setelah menyuruh kami untuk meng-imajinasi-kan gambaran akhir guci yang akan kami pahat, kami diminta untuk menggambar sketsanya di permukaan guci tersebut, barulah kemudian kami mulai memahat dan mengukir guci itu.
Saya masih ingat, masing-masing murid—termasuk saya—tertawa bingung menghadapi tantangan Pak Guru. Bingung mau membuat desain pahatan seperti apa dan memahatnya pakai alat apa, karena gypsum tergolong bahan yang mudah hancur jika dipahat/diukir terlalu kuat. Bagaimanapun juga, saya dan teman-teman semangat juga mengerjakan proyek seni ini, meski dengan alat se-ada-nya, yaitu cutter/silet.
Saya memutuskan mengukir guci saya dengan corak batik tanaman sulur. Mengimajinasikan gambaran akhir bentuk guci saya memang mudah, tetapi memahat guci sesuai dengan sketsa yang saya inginkan ternyata tidak mudah.
Saking semangatnya, saya bahkan rela mengurung diri di dalam kamar untuk mengerjakan proyek pahatan itu sejak pulang sekolah hingga larut malam. Untunglah ayah saya (seorang guru Kimia) memiliki beberapa peralatan laboratorium yang bisa saya pakai untuk memahat, terutama untuk membuat ukiran-ukiran yang super kecil, tajam dan halus.
Saya cungkil-i permukaan guci itu, bahkan sampai berlubang (tembus). Saya hancurkan, saya rapikan dan saya ampelas untuk menghaluskan permukaan yang saya inginkan. Bagian-bagian yang tidak pas saya cungkil dan rapikan kembali. Pokoknya, segala sesuatu pada guci itu yang tidak seperti gambaran akhir guci yang saya inginkan, terus saya cungkil, buang, bentuk dan rapikan sesuai yang ada di benak saya.
Setelah dua minggu berkutat dengan proyek pahatan, akhirnya saya lega ketika melihat hasil akhirnya sesuai dengan yang saya inginkan. Saya ingat, tidak puas-puasnya saya mengagumi guci pahatan saya. Apalagi ketika saya melapisi permukaannya dengan cat berwarna indah. Sayangnya, saya tidak sempat memotret karya pahat perdana saya itu. Karena usai dipamerkan dalam pekan seni pelajar di balai kabupaten bersama dengan karya pahat teman-teman yang lain, guci kebanggaan saya tidak pernah kembali lagi karena dibeli orang. Dari sekian banyak guci yang dipamerkan, hanya ada dua guci yang tidak kembali, yaitu guci saya dan guci 1 teman saya, yang telah dibeli orang.
Ketika mengingat proyek seni pahat saya 14 tahun yang lalu itu, saya diingatkan Tuhan tentang bagaimana Dia merencanakan kehidupan anak-anakNya. Tuhan berkata: “Dalam rumah yang besar bukan hanya terdapat perabot dari emas dan perak, melainkan juga dari kayu dan tanah; yang pertama dipakai untuk maksud yang mulia dan yang terakhir untuk maksud yang kurang mulia. Jika seorang menyucikan dirinya dari hal-hal yang jahat, ia akan menjadi perabot rumah untuk maksud yang mulia, ia dikuduskan, dipandang layak untuk dipakai tuannya dan disediakan untuk setiap pekerjaan yang mulia. “(2 Timotius 2:20-21)
Lebih dari ketekunan saya memahat sebuah guci, Tuhan teramat setia membentuk dan me-ngarahkan setiap kita sesuai rancanganNya. Segala sesuatu yang tidak sesuai dengan gambarNya maupun tujuanNya dalam diri kita Dia cungkil, potong, hancurkan, bentuk dan rapikan. Itulah mengapa kadang kita merasa “sakit” dan “terluka”. Karena Dia sedang berurusan dengan segala hal yang tidak sesuai dengan rancangan dan tujuan akhirNya atas kita. Baik itu hati kita, karakter, sikap dan kecenderungan manusia lama kita, maupun pelayanan, pekerjaan serta visi hidup kita.
Lebih dari keteguhan saya untuk menghasilkan karya pahat sesuai keinginan saya, Tuhan sangat teguh hati dengan apa yang Dia mau atas hidup kita. Bahkan jika kita sudah berada di ‘jalur’ yang benar, Tuhan masih terus meng-up grade alias meningkatkan kualitas setiap detil segi hidup kita. Bersama-sama dengan kita, Dia terus bekerja di dalam proses yang kita alami sampai akhir. Dia tidak mau setengah-setengah dengan rancangan maupun tujuan akhirNya. Yang kita perlukan hanyalah: TAAT DAN SETIA SAMPAI AKHIR.
Taat tidak hanya berbicara tentang perbuatan kita yang menuruti perintahnya, tetapi juga berbicara tentang hati kita yang dengan rela serta penuh sukacita untuk bekerja sama denganNya dan melakukan persis segala titahNya.
Setia berbicara tentang konsistensi kita, mental yang tidak mudah menyerah, gigih mengusahakan yang terbaik, terus-menerus. Setia bukan berarti tidak pernah gagal, tetapi semangat untuk mau bangkit dan belajar dari serta terus melaju meninggalkan kegagalan; dengan segenap hati, kekuatan serta kemampuan terus mengupayakan yang terbaik segala sesuatu yang Tuhan percayakan dalam hidup kita. Entah itu orang/komunitas, pelayanan, pekerjaan, hubungan maupun tanggung jawab. Bahkan, jika saat ini Tuhan mempercayakan segala sesuatu yang kita ‘tidak sukai’, kita harus tetap setia bertekun mengerjakan yang terbaik sampai selesai atau sampai Dia membuka pintu untuk kita melanjutkan perjalanan kita berikutnya. Karena segala sesuatu yang kita alami sekarang (enak atau tidak, suka atau tidak) adalah persiapan terbaik untuk memasuki kepercayaan yang lebih besar yang Tuhan siapkan selanjutnya.
Mau menyerah? Mau mundur? Ingat, Tuhan merancangkan, mengkhususkan dan menginginkan kita untuk sebuah pekerjaan mulia dalam kerajaanNya. (l@)
Sunday, June 27, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment