Sunday, June 6, 2010

Menjadi Pengikut Kristus: Bukan Citra, tetapi Kualitas

FOKUS KITA


Seorang sahabat pernah mengeluh kepada saya tentang kelakuan teman sekelasnya yang rajin ke gereja, ke komsel, dan terkenal suka membantu orang lain, belakangan ternyata ketahuan suka menyabotase tugas-tugas kuliahnya. Ironisnya, kekontrasan kesalehan rutinitas agama dengan kelakuan dalam kehidupan sehari-hari itu tidak hanya ditemui dalam satu orang temannya tersebut. Namun juga beberapa lainnya. Semenjak itu, dia mengaku sangat tidak respek dan cenderung antipati dengan orang-orang Kristen.

Menjadi Pengikut Kristus, Sebuah Citra
Jujur saja, saya jadi sedih mendengar keluh kesah sahabat saya akan orang-orang Kristen tersebut. Di sisi lain, saya menyadari, bahwa sebagai orang yang percaya Kristus, kita ini sedang disorot oleh begitu banyak orang. Tentu saja sorotan tersebut tidak hanya melingkupi ‘rutinitas’ kegiatan rohani yang kita lakukan (saat teduh, pelayanan, ke gereja, ke komsel), tapi juga praktek perkataan dan kelakuan kita dalam kehidupan sehari-hari.

Psikolog terkenal David J. Lieberman,Ph.D. mengungkapkan, pada dasarnya setiap orang terikat dengan citra atau merk yang diberikan kepada dirinya. Jika seseorang memandang kita dengan penuh kekaguman, kita sering terdorong untuk mempertahankan citra yang dimilikinya mengenai diri kita. Yang menarik, semakin longgar hubungan itu semakin keras kita berusaha, sebab kita tidak harus mempertahankan usaha kita untuk waktu yang terlalu lama. Tetapi berbeda dengan keluarga dan orang-orang yang tinggal atau bertemu setiap hari dengan kita, sangatlah tidak mudah menjaga citra seperti itu di rumah sendiri. Kebanyakan kita tidak terbiasa untuk berterima kasih saat pasangan atau anak-anak menolong kita sebaliknya terhadap orang lain, pertolongan kecil saja kita berterima kasih habis-habisan. Itulah sebabnya ada orang yang rela jungkir balik untuk menolong orang yang nyaris tidak dikenalnya, tetapi mengangkat satu jaripun dia tidak mau kalau itu menyangkut keluarganya atau orang-orang dekatnya.

Kasih Tanpa Syarat
Ada ikatan khusus dalam persahabatan dua jiwa karena Kasih tanpa syarat,
menghargai satu sama lain,
Mettrie L.

Melalui sikap dan perilaku, kita mengungkapkan bahwa kita tidak menghargai mereka dan mereka bukan orang yang penting meskipun kita selalu mengatakan merekalah yang terpenting dalam hidup kita. Prioritas kita membuktikan hal itu, kita lebih mementingkan orang lain daripada keluarga kita sendiri. Sementara terhadap orang lain, kita dengan hati-hati menjaga kata-kata dan sikap kita. Kita bisa tiba-tiba menjadi pribadi yang sama sekali berbeda ketika kita melayani mereka. Tanpa sadar kita sering mengorbankan kepentingan keluarga kita demi menjaga citra atau image kita di depan teman-teman kita.

Artinya, jika kita ingin pasangan, anak, sahabat, atau karyawan kita berubah menjadi lebih baik maka kita perlakukan mereka menjadi pribadi yang kita inginkan. Secara bertahap mereka akan menjadi seperti itu karena setiap orang punya keinginan menjadi lebih baik.

Berkualitas Kristen dalam Kehidupan Sehari-hari
Franklin Graham, putra pendeta terkenal dunia Billy Graham – yang sering melayani orang-orang penting termasuk presiden Amerika Serikat- menulis pengalamannya dalam otobiografinya “Rebel with a cause “ betapa dia menyesali perbuatannya sekarang. Ketika masih muda, dia sangat liar dan menjadi anak yang penuh pemberontakan kepada orang tuanya. Pada suatu hari dia berteriak-teriak dari atas sepeda motor Harley Davidsonnya, di depan rumah ayahnya untuk meminta uang. Dengan mengenakan jaket kulit yang berdebu dan kotor, dan dengan cambang yang lebat di dagunya, dia menerobos masuk ke ruang tamu sementara Billy Graham sedang mengadakan rapat besar dengan tamu-tamu pentingnya.

Begitu mengenali anaknya, Billy Graham tanpa ragu-ragu memperkenalkan Franklin kepada tamu-tamu kehormatannya sebagai anaknya dengan sikap yang penuh hormat dan kebanggaan. Billy tidak meminta maaf untuk apa yang dilakukan Franklin di hadapan mereka atau memperlihatkan sedikitpun rasa malu atau rasa bersalah karena sikap buruk anaknya. Kasih dan penghargaan yang ditunjukkan ayahnya membuatnya berbalik dari sikap pemberontakannya.

Billy Graham, melalui tindakannya membuktikan bahwa dia menerima dan mengasihi anaknya, hendaknya kitapun demikian – dapat mengasihi dan menerima orang-orang yang kita kasihi tanpa syarat bahkan saat mereka tidak seperti yang kita harapkan. Billy Graham lebih peduli untuk menjaga harga diri anaknya dibandingkan menjaga image dan nama baik dirinya di hadapan orang lain. Tantangannya, kita harus belajar mengasihi dan menerima orang-orang terdekat kita seperti Yesus menerima dan mengasihi kita – saat kita masih berdosa. Itulah tantangan kita sebagai orang Kristen.

Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian anakNya, lebih-lebih kita, yang sekarang telah diperdamaikan, pasti diselamatkan oleh hidupNya! Roma 5 : 10

No comments: