Saturday, August 1, 2009

Penuntun Saat Teduh Pribadi 3 – 9 Agustus 2009

Hidupku yang Sekarang
Sumber: Renungan Harian

"Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku."
(Galatia 2:20)



Senin, 3 Agustus 2009
Murah Hati
Firman hari ini: Lukas 6:27-36

Apa artinya “murah hati”? Suka mem­be­ri? Belum tentu. Seorang pebisnis su­ka memberi parcel kepada para pejabat bu­kan karena ia murah hati, melainkan un­tuk menyuap. Seseorang memberi uang pada pengamen jalanan bukan karena mu­rah hati, melainkan untuk mengusir­nya! Suka memberi tidak menjamin seseo­rang murah hati. Kemurahan hati adalah ke­mampuan untuk menempatkan diri pa­da posisi orang lain. Berusaha mema­hami pikiran dan perasaan orang lain, se­hingga mun­cul rasa simpati yang men­do­rong­nya ber­tindak demi kepentingan orang itu.
Dalam Lukas 6, Tuhan Yesus mem­beri perintah yang sangat sulit dilakukan. Pa­ra murid diminta berbuat baik kepada mu­suh; memberkati orang yang mengu­tuk­i­nya; membiarkan orang menampar pipinya dan mengambil mi­lik­nya. Jadi, bukan hanya tidak membalas, melainkan berbuat baik pa­da orang yang berbuat jahat pada kita! Semua ini bisa dilakukan ha­nya jika kita punya kemurahan hati seperti Bapa di sorga. Bapa menunjukkan kebaikan pada orang jahat (ayat 35). Mengirim hujan dan udara segar juga pada mereka yang tak tahu berterima kasih. Dia ber­tindak bukan karena kebaikan mereka, melainkan karena sadar mereka membutuhkan semua itu. Itulah kemurahan hati. Sudahkah Anda bermurah hati pada orang yang menjeng­kel­kan? Mudahkah Anda memaklumi dan mengampuni orang yang ber­sa­lah kepada Anda? Apakah Anda suka memberi perhatian dan ban­tu­­an kepada orang asing? Jika Anda menjawab “tidak”, mintalah Roh Kudus memimpin. Sebab kemurahan hati adalah buah Roh (Ga­la­tia 5:22)—hasil dari kehidupan yang menaati pimpinan Roh Kudus



Selasa, 4 Agustus 2009
Berani Mengaku Salah
Firman hari ini: Yunus 1:1-16

Dulu pernah ada sebuah lagu pop In­do­ne­sia berjudul Merpati Tak Pernah Ingkar Janji. Janji didekatkan dengan si­kap burung merpati yang tak pernah men­dua hati. Merpati selalu setia pada pa­sang­an­nya. Setiap kali, perhatiannya ter­arah hanya pada pasangannya.
Dalam Perjanjian Lama, arti nama Yu­­nus sesungguhnya adalah “merpati”. Na­­­mun, “merpati” yang satu ini tidak ha­nya ingkar janji. Ia bahkan enggan un­tuk taat, dan dengan segaja menolak pe­rin­tah Tuhan. Tuhan memerintahkannya agar ke Niniwe, tetapi ia malah melarikan di­ri ke Tar­sis; jauh dari hadapan Tuhan. Yu­­nus me­nun­juk­­kan keengganannya de­ngan “mem­ba­yar kapal, naik kapal, pergi jauh dari ha­dap­an Tuhan” (ayat 3). Namun, Tu­han me­nu­run­kan badai besar ke laut, sehingga kapal hendak ka­ram. Saat itulah awak kapal membuang undi guna mengetahui sia­pa penyebab malapetaka tersebut. Dan Yunuslah yang terkena undi. De­ngan besar hati, ia berkata, “Aku tahu, bahwa karena akulah ba­dai besar ini me­nyerang kamu” (ayat 12). Lalu ia pun meminta agar orang-orang mem­­buangnya ke laut. Setelah itu dilakukan, laut pun re­da. Dan “orang-orang di kapal itu menjadi sangat takut kepada Tuhan dan ke­mudian mempersembahkan korban sembelihan bagi Tuhan dan meng­ikrarkan nazar” (ayat 16). Dampak sebuah pengakuan dosa adalah: masalah bisa selesai. Ketika kita salah, beranikah kita mengakuinya secara kesatria? Atau, kita bersembunyi di balik segala alasan dan “tidur nyenyak” (ayat 5)? Yunus, “sang mer­­pati” sempat hendak ingkar, tetapi akhirnya ia mau belajar setia pa­­da Tuhan.



Rabu, 5 Agustus 2009
Mencukupkan Diri
Firman hari ini: Ibrani 13:1-6

Di awal masa krisis ekonomi, pernah terjadi orang sulit membeli minyak goring yang harganya meroket. Banyak orang menjadi resah. Namun, seorang ibu malah mendapat ide kreatif. Ia mencoba menggoreng tanpa minyak goreng! Ketika memasak telur ceplok, ditaruhnya daun pisang di atas wajan, lalu telur diceplok di atasnya. Hasilnya cukup memuaskan. Segera ide ini disebarluaskan ke media massa. Idenya, ketimbang belanja melebihi kemampuan, lebih baik belajar mencukupkan diri dengan apa yang ada.
Dalam Ibrani 13:5, penulis kitab Ibrani mengutip janji pemeliharaan Tuhan dari Ulangan 31:6, “Ia tidak akan membiarkan engkau.” Namun, didahului dengan sebuah syarat: “cukupkan dirimu dengan apa yang ada padamu”. Tuhan tidak akan memelihara orang yang boros dan serakah. Dia memelihara orang yang mau belajar bersyukur dengan apa yang ada, yakni mereka yang berjuang untuk bisa hidup dengan yang sedikit, ketimbang terus berusaha meraup lebih banyak. Mereka yang memilih bergaya hidup memberi dan membagi (ayat 2,3) lebih dari mengumpulkan bagi diri sendiri. Mereka yang berusaha menikmati apa yang sudah tersedia, ketimbang menyesali apa yang telah hilang. Kita hidup di zaman sulit. Tanpa belajar mencukupkan diri, kita bisa menjadi hamba uang yang serakah. Terjebak utang-piutang yang menyengsarakan. Atau menjadi pribadi yang hanya ingat diri sendiri, tak pernah memberi tumpangan. Ini saatnya kita belajar mencukupkan diri!
ALLAH AKAN MENCUKUPKAN MEREKA YANG BELAJAR MENCUKUPKAN DIRI


Kamis, 6 Agustus 2009
Hidup Kudus
Firman hari ini: 1 Petrus 1:13-19

Bayangkan ada dua gelas di hadapan Anda. Yang satu terbuat dari kristal dengan ukiran cantik. Mahal, tetapi bagian dalamnya kotor dan berdebu. Yang satu lagi gelas plastik murahan, tetapi dicuci bersih. Jika Anda ingin minum, mana yang akan Anda pakai? Saya yakin Anda memilih gelas yang murah, tetapi bersih! Gelas semewah apa pun, jika dalamnya kotor dan berdebu, menjadi tidak berguna.
Setiap anak Tuhan adalah gelas kristal. Kristus telah menebus kita dengan darah yang mahal, sehingga kita menjadi milik-Nya yang sangat berharga (ayat 18,19). Itu sebabnya Tuhan ingin memakai kita menjadi alat-Nya, untuk menyalurkan air hidup kepada orang-orang di sekitar kita. Namun, itu akan terhalang jika kita tidak rajin membersihkan debu yang mengotori hati dan hidup kita. Agar dapat dipakai Tuhan, kita harus hidup dalam kekudusan. Tak membiarkan hawa nafsu mencemari dan menguasai hati. Tuhan meminta kita menjadi kudus dalam seluruh aspek hidup. Bukan hanya di gereja, melainkan juga di tempat kerja dan dalam keluarga. Kata kudus berarti terpisah atau berbeda. Hidup kita harus dipisahkan, dikhususkan untuk memuliakan Tuhan. Berbeda dari cara hidup duniawi. Hidup kudus adalah keharusan, bukan pilihan. Tuhan berfirman, Kuduslah kamu, sebab Aku kudus (ayat 16). Adakah kotoran yang masih menempel di hati Anda? Bentuknya bisa berupa dendam, amarah, nafsu yang merusak, niat jahat, atau kebiasaan dosa yang terus dipelihara. Kita harus sering membersihkan hati. Membuatnya tetap murni, agar Tuhan dapat terus memakai kita menjadi saluran berkatNya. Sayang, jika kita hanya menjadi gelas kristal kotor; indah namun tak berguna.


Jumat, 7 Agustus 2009
Berani Jujur
Firman hari ini: Amsal 11:1-6

Rupanya, kejujuran semakin jarang dijumpai dalam kehidupan kita. Hampir pada semua aspek kehidupan ini, kita menjumpai semakin banyak kecurangan, perselingkuhan, atau korupsi, baik yang berskala kecil maupun besar. Berani bersikap jujur kemudian mengandung konsekuensi bahwa kita juga harus berani untuk menerima risiko dicap sebagai orang yang melawan arus. Apalagi istilah jujur hancur sudah begitu nyata terjadi di masyarakat kita.
Lalu, bagaimana dengan kita, para pengikut Kristus? Apakah kita pun harus ikut berkompromi dengan dunia yang sudah begitu tercemar ini? Jawabannya jelas tidak! Firman-Nya mengingatkan, Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaruan budimu, sehingga kamu dapat membedakan mana kehendak Allah: Apa yang baik, yang berkenan kepada-Nya dan sempurna (Roma 12:2). Marilah kita senantiasa memohon pimpinan Roh Kudus agar kita mampu bertahan dan tidak terbawa arus cemar dunia ini. Ingat! SAAT KITA MULAI BERLATIH UNTUK TIDAK JUJUR MAKA KITA SEDANG MULAI MENENUN SEBUAH PERANGKAP-Sir Walter Scott


Sabtu, 8 Agustus 2009
Menghargai Orang
Firman hari ini: Bilangan 10:29-34

Seberapa sering Anda menerima pujian yang tulus dari pasangan Anda?” Pertanyaan ini diajukan pada ratusan suami istri dalam sebuah penelitian. Hasilnya mengejutkan. Ternyata banyak yang berkata, “Saya tak pernah menerima pujian” atau “Hampir tak pernah”. Seorang istri menjawab: “Aku tidak ingat kapan terakhir kali suamiku memujiku”. Banyak orang pelit dalam memuji. Berat lidah untuk menyatakan betapa ia menyukai, mengagumi, atau menghargai orang lain. Alasannya macam-macam. “Ia sudah tahu!”, “Kalau dipuji nanti besar kepala”, atau “Saya malu mengatakannya”.
Sebuah penghargaan dapat memperkokoh hubungan. Musa menyadari hal ini. Ketika berada di Gunung Sinai, Musa diberi tahu bahwa Hobab tidak lagi mau melanjutkan perjalanan bersama rombongannya. Memang Hobab bukan orang Israel. Ia orang Midian. Bukannya ikut ke tanah perjanjian, ia justru ingin kembali ke kampungnya. Melihat hal ini, Musa memohon Hobab tetap bersamanya. Musa menyatakan betapa pentingnya Hobab. Dipujinya Hobab sebagai penunjuk jalan terbaik. Orang yang paling tahu seluk-beluk padang gurun. Walaupun Musa pemimpin tertinggi, ia tidak gengsi untuk mengakui kehebatan Hobab. Penghargaan ini akhirnya membuat Hobab tak jadi meninggalkan Musa, sebab ia merasa dirinya berharga. Coba pikirkan orang-orang yang sudah banyak menolong Anda. Mereka yang sudah membuat hidup Anda nyaman dan indah. Kapan terakhir kali Anda memuji dan menghargai mereka? Pernahkah Anda menyatakan betapa pentingnya mereka bagi Anda? Kalau belum, lakukanlah itu hari ini! Ingat! PUJIAN MEMPERKAYA HIDUP ORANG YANG MENERIMANYA TANPA MEMPERMISKIN PEMBERINYA


Minggu, 9 Agustus 2009
MENGASIHI MUSUH
Firman hari ini: Matius 5:43-48

Dalam hukum dunia, kata mengasihi dan musuh adalah dua kata yang bertolak belakang, karenanya tidak dapat dipersatukan. Dalam bahasa Inggris, musuh adalah enemy, berasal dari bahasa Latin inimicus, artinya bukan sahabat. Definisinya jelas: orang yang membenci, menginginkan hal yang tidak baik, menyebabkan jatuh, kecewa, sakit, dan sebagainya. Maka, nasihat untuk mengasihi musuh bisa dibilang aneh. Sebab, normalnya musuh itu mesti dilawan, dibenci, disingkirkan, kalau perlu dibasmi.
Tetapi, itulah yang dengan tegas dan jelas diajarkan Tuhan Yesus (Matius 5:44). Mengapa mengasihi? Satu, membenci musuh akan merugikan diri sendiri; tidak ada orang yang hidupnya bahagia kalau terus dikuasai kebencian terhadap orang lain. Dua, melawan kebencian dengan kebencian sama dengan melipatgandakan kebencian. Seperti gelap yang tidak bisa dilawan dengan gelap, tetapi harus dengan terang. Terang, walaupun hanya secercah, akan sanggup menembus kegelapan. Dengan memahami makna ajaran mengasihi musuh, kita bisa melihat luka tanpa dendam; kepahitan tanpa amarah; kekecewaan tanpa geram. Kita memandangnya sebagai kesempatan untuk mengasihi orang lain; untuk berbuat kebaikan. Seperti kata Alfred Plummer, Membalas kebaikan dengan kejahatan adalah tabiat Iblis; membalas kebaikan dengan kebaikan adalah tabiat manusiawi; membalas kejahatan dengan kebaikan adalah tabiat ilahi. KEMENANGAN TERBESAR ADALAH KETIKA KITA BERHASIL MENGASIHI LAWAN!

No comments: