Saturday, July 18, 2009

Kisah Pak Tua dan Kudanya

Ketika Manusia Menjadi Tuhan dengan Menyimpulkan Sepotong Keadaan

INSPIRATIONAL STORY

Di sebuah desa, hiduplah seorang Pak Tua yang miskin. Pekerjaannya hanyalah menebang kayu yang hanya cukup untuk makan sehari-hari. Istrinya sudah meninggal, ia hidup dengan seorang anak laki-laki berusia remaja dan seekor kuda putih yang cantik. Warga sekitar merasa iri dengan kuda gagah nan kuat yang dimiliki Pak Tua tersebut. Mereka kerap kali menawar harga yang tinggi, berupaya untuk membeli kuda tersebut. Namun berulang kali juga Pak Tua tersebut menolak. “Bagi saya kuda ini lebih dari sekedar hewan peliharaan. Ia seperti sahabat bagi keluarga saya. Bagaimana kita bisa menjual sahabat sendiri?”

Suatu kali kuda tersebut hilang tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Warga sekitar mulai mencibir, mengolok-olok ‘kebodohan’ Pak Tua yang tidak mau menjualnya pada waktu lalu. “Dasar Pak Tua bodoh, coba dulu Anda menurut untuk menjual kuda itu, paling tidak kan Anda bisa dapat untung. Sekarang, kuda itu bukannya membawa berkat, tambah membawa malapetaka.” Namun Pak Tua itu tidak menghiraukan pendapat warga sekitar. “Faktanya, kuda itu sekarang memang tidak ada. Tapi malapetaka atau berkat, itu hanyalah kesimpulan Anda sekalian.” Mendengar pernyataan Pak Tua tersebut, warga marah dan semakin membodoh-bodohkan Pak Tua tersebut.

15 hari kemudian, kuda tersebut kembali dengan 12 kuda liar lain dari hutan. Semua warga yang sebelumnya mencemooh Pak Tua itu datang kepadanya. “Maaf Pak Tua, sepertinya Anda benar, tidak menjual kuda tersebut dan peristiwa kehilangannya bukanlah malapetaka, tapi berkat. Dengan begitu banyak kuda, Anda bisa menjual beberapa di antaranya dan mendapat banyak keuntungan.” Sekali lagi, Pak Tua tersebut tidak menghiraukan pendapat mereka. “Kuda ini kembali, saya bersyukur untuk itu. Saya akan mengusahakan yang terbaik setelah memiliki kuda-kuda ini. Selebihnya, berkat ataupun tidak itu bukan bagian saya untuk memutuskan.”

Kemudian, anak Pak Tua itu mulai melatih kuda-kuda liar tersebut. Ketika berusaha mengendalikan salah satu kuda, ia terjatuh dan kaki kirinya terantuk pohon hingga salah satu tulangnya patah. Mendengar kejadian tersebut, kembali para warga datang pada Pak Tua tersebut. “Tampaknya memang benar bahwa kuda tersebut membawa malapetaka. Satu-satunya anakmu jadi menderita karena patah tulang.” Pak Tua tersebut kembali pada pendapatnya. “Saya hanya percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi ada dalam kendali Tuhan untuk kebaikan hidup saya.”

Beberapa lama setelah itu, pecah perang antara desa tersebut dengan desa yang lain. Setiap anak muda laki-laki diwajibkan ikut dalam perang. Anak Pak Tua tersebut diizinkan tidak ikut berperang mengingat kondisi fisiknya yang tidak memungkinkan. Dalam peperangan tersebut, musuh sudah terlihat jelas lebih kuat. Sehingga besar kemungkinan pemuda-pemuda desa tersebut meninggal dalam medan perang. Para orangtua warga mendatangi Pak Tua tersebut sambil menangis, “Barangkali memang betul bahwa kuda itu mendatangkan berkat. Sekarang anakmu tidak perlu meninggal dalam medan perang.” Pak Tua itu hanya menjawab, “Tidak mungkin untuk berbicara dengan kalian. Kalian selalu menarik kesimpulan. Tidak ada yang tahu. Yang kita tahu adalah: anak-anak kalian harus pergi berperang, dan anak saya tidak. Tidak ada yang tahu apakah itu berkat atau kutukan. Tidak ada yang cukup bijaksana untuk mengetahui. Hanya Tuhan yang tahu.”

Hidup penuh dengan potongan kejadian yang berbeda-beda. Seringkali kita menjadi seperti para warga tersebut. Hanya melihat kejadian dari satu sisi dan seenaknya berkata: ini baik, itu buruk; ini berkat, itu malapetaka. Tak jarang bahkan sepotong-potong kesimpulan tersebut menjadi hal yang akhirnya diperbincangkan dengan sesama (baca: digosipkan). Kita bukan pencipta dunia, bukan pula hakim kehidupan. Tapi kebenaran hanya satu: bahwa Ia turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia. (vln/ sumber: internet)

No comments: