Saturday, July 18, 2009

(K) yang Tidak Pernah Gagal

FOKUS KITA

Saya punya seorang teman sekolah yang berasal dari luar kota. Karena agak kesulitan dalam hal transportasi, kerap kali ia ‘nebeng’ saya ketika berangkat atau pulang sekolah. Teman saya ini orangnya susah konsentrasi, jadi wajar saja dalam beberapa pelajaran ia kurang begitu menguasai. Ketika diwajibkan membentuk kelompok, beberapa kali ia bergabung dengan saya. Meskipun tidak begitu banyak membantu, saya juga tidak ambil pusing, namanya juga teman. Suatu hari, saya terlibat dalam sebuah konflik dengan seorang teman yang lain, yang juga dikenalnya. Tidak lama kemudian, beredar kabar miring tentang konflik pribadi saya tersebut. Ketika ditelusuri, sumber kabar miring tersebut ternyata teman saya ini. Ia menyimpulkan sendiri konflik pribadi saya (tanpa klarifikasi) dan menjadikannya bahan gosip empuk dengan beberapa teman saya.


(K) yang tulus itu terlihat bodoh

Melihat hal tersebut, saya menjadi marah. Bukan karena teman-teman lain jadi punya anggapan buruk tentang saya, tetapi ‘Mengapa dia bisa berbuat seperti itu, setelah apa yang selama ini saya lakukan untuknya?’ Memang, hal yang saya lakukan bukanlah hal besar: seperti menjadi seorang juruselamat yang menyelamatkan nyawanya. Tapi tetap saja, saya merasa rugi selama ini sudah memberikan hal-hal baik (tanpa mengharap imbalan apa pun) kepadanya. Saat itu, saya memutuskan bersikap seperti orang kebanyakan: tidak perlu lagi (K) apabila tidak ada kecocokan. Saya tidak mau peduli dengan apa pun yang berurusan dengannya, apalagi memberikan bantuan lagi seperti dulu, sekecil apa pun. Namanya juga tidak cocok, wajar kan? Tapi saya tetap memberi (K) dengan orang-orang lain, kok. Itu dalih saya.

(K) itu sabar, (K) itu murah hati....

Ketika membaca kembali ayat klise ini saya mendapat teguran agar tetap menjadi murah hati, alias mau memberi selama kita bisa. Saya jadi berpikir ulang, ‘yang benar saja?’ Bagi saya, dalam hal ini, (K) jadi terlihat seperti kebodohan daripada ketulusan. Masa kita tetap memberi meski pihak yang diberi sepertinya tidak tahu diri?


(K) itu tidak pernah gagal

Dalam sebuah diskusi tentang (K) di komsel, salah seorang berkata dalam terjemahan Bahasa Indonesia, dikatakan bahwa ‘(K) tidak berkesudahan.’ Artinya agak berbeda dengan terjemahan Bahasa Inggrisnya yang berkata bahwa Love never fails, yang artinya bahwa (K) itu tidak pernah gagal.

Deg! Sesaat saya merasa ditegur, bahwa (K) sungguh tidak pernah gagal menjamah setiap orang, bahkan yang menyebalkan sekalipun. Selain itu, berbicara mengenai memberi (K) meski orang yang diberi tidak tahu diri, bukankah itu sama saja dengan membicarakan apa yang telah diberikan Yesus kepada saya. Jesus loves me unconditionally. Yesus mengasihi saya tanpa melihat apa yang saya perbuat padaNya. Jika saja Yesus melakukan hal sama seperti saya: berpikir bahwa memberi (K) yang tulus kepada orang yang menyakitinya adalah kebodohan, hari ini, saya dan kita semua, tidak akan menikmati keselamatan cuma-cuma dariNya. Saya jadi sadar, bahwa tolak ukur (K) yang harus saya teladani adalah Yesus, bukan dunia.

Jadi siapa bilang bahwa memberi (K) sebaiknya hanya kepada orang-orang yang menyenangkan dan baik terhadap kita? (K) itu universal, semua orang membutuhkan (K). Termasuk orang-orang di sekeliling kita yang seringkali menyakiti hati kita. Percayalah, bahwa (K) yang tulus itu yang akan mengetuk pintu hati mereka. Sama seperti (K) sejati Yesus yang menyelamatkan dan mengubahkan hidup kita menjadi yang baru.

(K) = Kasih

(vln)

No comments: