Saturday, January 17, 2009

Memeluk Landak

FOKUS KITA

Halam hidup saya mengenal seseorang yang setiap kali bertemu atau teringat akan dia saya akan terbayang binatang landak. Bukan karena penampilan rambutnya yang seperti landak atau suka mengenakan pakaian kostum landak, namun karena sikapnya yang dilatar belakangi oleh kehidupan masa kecilnya yang suram.

Dulu, saya tidak menyadari hal ini dan sering dibuat lelah, jengkel dan terluka secara dalam oleh perubahan sikapnya yang terjadi tiba-tiba tanpa dapat ditebak. Dalam suatu kali dia tampak hangat dan ramah, namun detik berikutnya dia berubah menjadi seorang yang pemarah dan kasar. Banyak kali ketika bersama dengannya saya tidak merasa aman, ketakutan dan waspada setiap saat, sekalipun dia adalah salah seorang yang terdekat dan penting bagi saya. Tak jarang bahkan ketika bersosialisasi dengannya, saya bertanya-tanya tentang maksud yang sesungguhnya dibalik kata-kata maupun sikapnya. Terkadang dia berbicara penuh kasih sayang, namun sejurus kemudian berubah berkata-kata kasar penuh amarah disertai pandangan penuh kebencian. Terkadang dia terlihat rapuh dan membangkitkan belas kasih, namun dapat berubah menjadi orang yang tegas dan kuat dalam sekali waktu, sehingga orang yang tidak benar-benar mengenalnya akan mengira bahwa dia adalah orang yang hebat, selalu dalam keadaan baik-baik saja dan bahwa kelemahan yang sempat muncul di permukaan hanya kamuflase belaka.

Dengan berjalannya waktu dan semakin banyak kebenaran yang Tuhan singkapkan, saya dapat mengenal dia lebih dalam. Hal itu semakin menimbulkan belas kasih di hati saya untuk terus mendoakan dan memeluknya dengan kasih yang memulihkan.

Seperti binatang landak yang mempertahankan/melindungi diri dengan kulitnya yang penuh duri tajam ketika merasa terancam, demikian halnya orang tersebut mempertahankan dirinya. Selalu menampilkan kekuatan, kekasaran dan tidak segan-segan melukai hati orang yang mendekatinya hanya untuk menutupi pribadi maupun jiwanya yang sesungguhnya rapuh.

Ada banyak “landak-landak” di sekitar kita yang membutuhkan kasih dan kepedulian kita. Mereka tampak hebat, kuat dan “baik-baik saja”, namun sebenarnya jiwanya penuh luka. Ketimbang memperhatikan jauh ke dalam jiwanya, kita seringkali hanya menangkap sikap penolakan, dendam, kebencian, iri hati, kesombongan, amarah, dll. Kita tidak suka dengan jiwa-jiwa semacam ini dan malah menghindari mereka. Tak jarang kita bahkan menghakimi mereka dan bersungut-sungut, “Mengapa mereka tidak seperti kita dan hanya menimbulkan masalah saja?”

Kita tidak mau tahu bahwa sikap “landak” mereka itu bukan karena mereka pada dasarnya buruk, tetapi karena begitu dalam luka-luka mereka sehingga jiwa mereka tidak mampu lagi untuk memberi dan menerima kasih, karena mereka tidak merasakan kasih dalam hidupnya.

Justru manusia-manusia “landak” ini yang sangat membutuhkan kasih, empati, kesabaran dan keberanian kita untuk membalut luka-luka yang memasung jiwa mereka. Duri-duri dalam sikap mereka yang terkadang menggores hati kita adalah cara mereka mempertahankan diri dari kita.

Mereka tidak akan bilang, “Aku tidak bisa menari”, tetapi mereka akan bilang, “Menari itu tidak menarik.” Mereka tidak akan bilang, “Aku membutuhkanmu”, tetapi “Tidak ada yang cocok denganku.” Mereka tidak akan bilang, “Aku kesepian”, tetapi “Teman-temanku sudah lulus semua”. Mereka tidak akan bilang, “Aku butuh diterima”, tetapi “Aku ini buruk, siapa yang bakal tahan denganku?” Mereka tidak akan bilang, “Aku ingin didengarkan”, tetapi mereka akan bilang, “Kisah hidupku membosankan.”

Kita tidak dapat mengharapkan orang yang terluka kakinya untuk berlari bersama kita. Kita juga tidak dapat mengharapkan orang yang takut air berenang bersama kita. Luka di kaki dan ketakutan mereka terhadap airlah yang harus disembuhkan, bukan mencaci dan membenci mereka karena tidak mau berlari atau berenang bersama kita. Saatnya bagi kita untuk melihat kedalaman jiwa dibalik kulit landak mereka dan membalut luka-luka serta memeluk mereka dengan kasih dan kepedulian kita. (l@)

No comments: