DARI KITA UNTUK KITA
Selama satu bulan ini saya menghabiskan waktu liburan sekolah bersama keluarga. Di rumah ada keponakan saya yang sedang belajar berjalan. Dia sangat bersemangat untuk berjalan dan menjelajah. Bahkan kalau dia ditatih oleh ibunya, dia akan berlari kesana kemari dengan antusias. Ada saat-saat dimana keponakan saya ini tidak mau berjalan. Dia lebih memilih untuk merangkak ketimbang harus berjalan sebentar kemudian terjatuh.
Setiap kali dia berhasil berjalan beberapa langkah kemudian jatuh terduduk, dia memberi applaus untuk dirinya sendiri sambil melihat orang-orang di sekitarnya dengan pandangan meminta applaus. Ibunya berkomentar,”Tepuk tangan buat apa? Wong kamu baru jalan sebentar.” Keponakan saya sih tidak menganggap omongan ibunya, setiap kali terjatuh dia masih tetap bertepuk tangan. Dan ibunya kadang menyerah dengan berkata,”Iya…Billy pintar ya bisa jalan sedikit.”
Hari dimana saya kembali dari liburan, adalah hari dimana dia menjelajah kamar saya dengan berjalan sendiri tanpa berpegangan pada benda apapun dan tanpa terjatuh sama sekali.
Akhir-akhir ini saya mengalami keletihan dalam pelayanan. Saya merasa apapun yang saya perbuat tidak berbuah. Saya kehabisan akal. Saya mengadu pada Bapa…tapi hanya sekedar mengadu tanpa menanyakan apa yang harus saya lakukan karena saya masih berpola pikir independen alias menggunakan pemikiran dan kekuatan saya sendiri. Akibatnya, saya merasa gagal dan kecewa, terutama pada diri saya sendiri. Ya, saya menilai keberhasilan dari pencapaian sesuai standar saya.
Satu hal yang menerobos perasaan gagal dan kecewa saya adalah ucapan pembina saya bahwa Bapa tidak melihat saya sebagai orang yang gagal. Kasih-Nya membuat-Nya tidak melihat saya sebagai orang yang gagal. Teringat Billy, saya 100% yakin bahwa Bapa tetap bangga pada saya tidak peduli berapa kali saya harus jatuh bangun menerobos independensi saya untuk bergantung sepenuhnya pada Dia.
Teringat Billy lagi…saya tidak menghargai proses Bapa untuk membuang independensi saya. Saya banyak berkeluh kesah. Saya tidak memberi applaus untuk setiap kemajuan kecil yang saya capai. Yang saya lihat hanyalah kegagalan demi kegagalan saya.
Sementara itu Bapa melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Di mata-Nya saya bukanlah seorang yang gagal karena saya tidak akan berhenti untuk mematikan respon manusia lama saya yang independen.
Mata seorang Bapa adalah mata yang melihat potensi dalam diri anak-anak-Nya dan mata yang menghargai proses pertumbuhan setiap anak-Nya.
Orang yang gagal adalah orang yang berhenti mencoba saat dia gagal.(dra)
Tuesday, July 20, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment