Sunday, July 25, 2010

Kisah Kasih Seorang Perantara

KEGERAKAN KITA


“Aduh… Tuhan! Kiranya Engkau mengampuni dosa mereka itu dan jika tidak… hapuskanlah kiranya namaku dari kitab yang Kau tulis…”

Dalam tahun-tahun belakangan ini, aku baru mengerti makna menjadi seorang perantara. Ketika menjadi perantara, aku mewakili kepentingan orang lain di hadapan seseorang. Sepertinya aku jadi paham, betapa besarnya tantangan yang harus dihadapi oleh seorang perantara. Aku harus sungguh-sungguh mengasihi orang-orang yang aku wakili (orang-orang yang dipercayakan kepadaku), bahkan aku harus rela berkorban demi mereka.

Suatu waktu, aku membaca dari sebuah buku tentang seseorang yang menjadi perantara bagi bangsanya, yang ketika itu sedang mengalami masalah besar. Bangsanya, yaitu bangsa Israel, telah melakukan perbuatan tercela. Mereka melanggar janji yang telah mereka ikat dengan Sang Junjungan, Tuhan Allah. Bangsanya yang disebut sebagai umat pilihan Tuhan, dengan terang-terangan menyembah benda yang mereka buat dengan tangan iamm mereka sendiri, sebuah lembu emas. Hal ini mengingatkan aku akan keadaan dunia sekarang ini.

Sang Junjungan tentu saja sangat marah Sedemikian murkanya hingga ia berkata kepada Sang Perantara, “Oleh sebab itu biarkanlah Aku, supaya murkaKu bangkit terhadap mereka dan Aku akan membinasakan mereka.” Kesabarannya sudah habis terhadap bangsa ini. Ia tidak mau lagi kenal dengan bangsa ini, meskipun ia telah “menanamkan modal” begitu banyak kepada mereka.

Tetapi, buku yang tadi kubaca belum selesai. Aku sampai pada satu bagian yang mengejutkan. Rasanya tidak mungkin! Sang Junjungan yang baru saja menyatakan niatnya untuk menumpas bangsa pilihannya, menawarkan sesuatu yang sangat menggiurkan kepada Si Perantara, dialah Musa, “Tetapi Engkau akan Kubuat menjadi bangsa yang besar.”

Mengherankan bagiku, karena musa sama sekali tidak tergiur oleh kehormatan besar yang Tuhan tawarkan kepadanya. Si Perantara ini malah menjerit membujuk Tuhan, “Aduh, Tuhan! Mengapa murkaMu bangkit terhadap umatMu? Berbaliklah dari murkaMu yang menyala-nyala itu dan menyesallah karena malapetaka yang hendak Kau datangkan kepada umatMu.”

Di situlah si Perantara mulai melakukan peran mewakili bangsanya. Bahkan ia mencoba melunakkan hati Sang Junjungan. Dalam bahasa aslinya, dikatakan, “Lalu Musa mengelus-elus, melicinkan kerut-kerut di wajah Tuhan.”

Jangan anggap enteng apa yang dilakukan Musa! Ia mengelus-elus wajah Sang Junjungan dan melicinkan kerut di wajahNya selama 40 hari 40 malam!! (Ulangan 9:25-27)

Setelah kubaca dan kurenungkan kisah ini, aku baru mengerti bahwa sungguh tidak gampang melakukan apa yang Musa lakukan, menjadi seorang perantara! Musa menjadi perantara bagi bangsanya, tanpa ambil pusing lagi dengan apa yang terjadi di sekelilingnya. Dengan segenap hati, jiwa dan raganya, Musa hanya menginginkan satu hal: Aku harus mendekati Tuhan, aku harus meredakan amarahNya.

Dari mana Musa, Si Perantara punya kekuatan seperti itu? Ternyata Musa pernah mengungkapkan kerinduannya kepada bangsa Israel, “Aku akan naik menghadap Tuhan, mungkin (siapa tahu) aku akan dapat mengadakan perdamaian bagi dosamu ini.”

Musa adalah seorang perantara sejati. Tidak segan-segan ia menawarkan nyawanya sendiri sebagai korban pendamaian bagi bangsa yang ia wakili. Ia bersedia dihukum apapun asal bangsa Israel bebas dari hukuman tersebut. “Kiranya Engkau mengampuni dosa mereka itu dan jika tidak, hapuskanlah namaku dari kitab yang Kau tulis.”

Betapa dahsyatnya doa tersebut! Satu lagi orang yang bernama Rasul paulus, pernah mengucapkan doa semacam ini di Perjanjian Baru. Keduanya bersedia kehilangan keselamatan yang telah mereka miliki, asalkan orang-orang yang mereka wakili mendapat pengampunan.

Tidak, Musa tidak “memaksa” Tuhan. Tidak kutemukan sedikitpun bibit-bibit pemberontakan dalam doa mereka. Yang ada hanyalah kasih. Kasih yang sedemikian mendalam dan kerelaan mereka untuk menderita bersama Yesus bagi manusia-manusia yang bergelimang dosa.

Itulah hakikat menjadi seorang perantara. Musa telah melakukannya. Dan, Tuhan mengurungkan niatNya untuk menumpas bangsa Israel. Tuhan tidak berubah pikiran seperti manusia, tetapi Ia dapat mengubah dunia dan kita, apabila kita mau bersungguh-sungguh menjadi perantara dan berdoa seperti Musa. Orang yang setengah hati tidak akan mungkin dapat melakukan hal ini, karena ia tidak akan mau membayar harganya. Terlalu mahal baginya.

Sampai hari ini Tuhan masih terus mencari perantara-perantara lain, orang yang punya kasih, yang tidak segan-segan untuk memberikan nyawanya bagi sahabat-sahabatnya yang terhilang. Mata Tuhan sedang menjelajah untuk mencari barangkali ada seorang perantara yang mengusap wajahNya, menghilangkan kerut di wajahNya untuk menjadi perantara bagi keselamatan bangsanya. Tuhan sedang menunggu dan masih menunggu… engkau dan aku! (l@/sumber:abbavoice)

No comments: