Sunday, December 6, 2009

I Kissed My Burdens Goodbye (Selamat Tinggal, Beban)

FOKUS KITA


Malam itu saya bermimpi melihat seseorang dari masa lalu saya melambai kepada saya sambil tersenyum. Orang ini telah menyakiti saya sedemikian rupa dan begitu juga sebaliknya. Terakhir kali saya melihat dia dan mendengar kabar tentangnya, kesan yang ditinggalkannya kepada saya dan keluarga saya tidak begitu baik. Saya berpikir mimpi itu berarti bahwa dia sudah memaafkan saya.


Beberapa hari terakhir, entah mengapa saya sering sekali membicarakan masa lalu saya dengan seorang sahabat saya. Sampai-sampai saya berpikir saya seperti penghisap debu, bedanya yang saya hisap adalah emosi sahabat saya (paling tidak itu yang saya rasakan). Seolah-olah saya kembali menjadi seperti dahulu sebelum mengenal Yesus.


Hari itu saya merenungankan kisah Yusuf. Saya begitu terkesan membaca ucapannya kepada para saudaranya. Dia telah benar-benar melihat masa lalunya dari kacamata kekekalan. Dia berhasil melihat rencana Allah di balik semua penderitaannya di masa lalu.


Hari yang sama, saya sadar bahwa saya masih menyesali masa lalu saya dan keputusan-keputusan ceroboh yang telah saya ambil. Saya mengirim beberapa pesan kepada sahabat saya. Saya katakan bahwa saya tidak akan membicarakan masa lalu saya lagi. Karena ternyata saya masih menyesalinya. Dan ketika membaca kisah Yusuf pagi ini, saya merasa malu. Dia tidak menyesali masa lalunya, malahan dia bisa melihat berkat tersembunyi di balik itu. Jadi, saya harus memberikan penyesalan saya kepada Bapa. Menukarkannya hari lepas hari dengan penerimaan dan kasih Bapa yang tanpa syarat.


Mazmur 139:14 memiliki arti baru bagi saya. Sebelum hari itu, saya berpikir ayat itu ditujukan kepada anak-anak yang masih dalam kandungan dan yang baru lahir saja. Namun hari itu, Tuhan membuka pikiran saya bahwa ayat itu terus berlaku selama masa hidup saya. Kejadian saya dahsyat dan ajaib karena Tuhan masih bekerja dalam saya dan terus membentuk saya. Ia tidak hanya di masa lalu, namun juga di masa sekarang… terutama di masa sekarang ini. Dan jiwa saya benar-benar (baru) menyadarinya saat pemulihan demi pemulihan saya rasakan terus terjadi dalam diri saya dan membentuk saya menjadi makin serupa dengan gambar-Nya.


Masih di hari yang sama, saya membaca blog sahabat saya. Dia menulis tentang seseorang yang harus berpisah dengan sahabatnya yang bernama Masa Lalu. Orang ini melepaskan pengampunan untuk dirinya sendiri dengan cara berdamai dengan Masa Lalu. Dengan begitu dia bisa merenda kenangan yang baru dengan dua orang sahabatnya yang lain, yaitu Masa Kini dan Masa Depan, dan tidak melakukan kesalahan yang sama seperti dengan Masa Lalu.


Saat saya membaca itu, saya teringat mimpi saya beberapa malam sebelumnya. Ya, saya harus berdamai dengan masa lalu saya, berdamai dengan diri saya sendiri. Saya merasa lebih mudah untuk berdamai dengan orang lain ketimbang dengan diri saya sendiri. Saya perlu terus menerus mengingatkan diri saya sendiri untuk tidak menoleh ke belakang dan terus melangkah maju. Selama ini masa lalu telah menghambat saya tanpa saya sadari. Saya merasa sudah dipulihkan dan dilepaskan dari masa lalu, namun tanpa saya sadari saya masih membawanya. Dan itu membebani bahkan sampai menghambat saya untuk melangkah. Saya perlu berdamai dengan masa lalu.


Bagi saya berdamai dengan masa lalu dan diri saya sendiri berarti:

1. Menerima keadaan saya apa adanya dan terus menerus berpaut pada kasih karunia Tuhan.

2. Lebih memilih untuk memikirkan apa kata Tuhan ketimbang apa kata diri saya sendiri.

3. Mencari tahu apa kehendak Tuhan lewat masa lalu saya.

4. Tidak lagi menoleh ke belakang, melainkan menatap ke depan… kepada Yesus dan rencana-rencana-Nya bagi saya.


Ibrani 12.1-2 berkata,”Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita. Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah.


Beban saya adalah masa lalu saya. Apa beban Anda? Apa yang menghambat laju Anda dalam perlombaan yang diwajibkan itu? Sudahkah Anda menanggalkannya atau masih Anda bawa kemana-mana? Sudahkah Anda berlomba dengan mata yang tertuju kepada Yesus? Ataukah Anda berlomba dengan menoleh ke belakang? (dra)

No comments: