Sunday, December 21, 2008

My Crossroad to Heaven

TESTIMONI

Aku takkan pernah melupakan hari itu. Sampai hari ini, aku masih mengingatnya dengan amat jelas dibenakku sebuah pengalaman yang mengubah seluruh kehidupanku dua belas tahun yang lalu. Suatu Minggu siang di pertengahan tahun 2006 aku bermimpi. Dalam mimpiku…

Hari sudah gelap ketika aku keluar rumah nenekku untuk membeli sesuatu. Bisa kucium bau tanah yang segar sehabis diguyur hujan. Suara katak bernyanyi bersahutan dengan gemericik aliran air sungai di belakang rumah nenekku, yang membentang ke arah timur. Aku turun dari teras rumah dan berjalan ke timur mengikuti jalan setapak di tepi sungai, di bawah naungan pepohonan bambu yang rindang.

Awalnya cahaya lampu kuning (satu-satunya cahaya) di halaman rumah nenek membantu penglihatanku menembus kelamnya “hutan” bambu. Namun, semakin aku berjalan masuk ke sana, cahaya lampu itu semakin hilang dan tinggallah pekatnya malam. Tak ada sedikitpun cahaya bulan ataupun bintang yang menerangiku. Aku mulai tegang dan berjalan semakin hati-hati dengan mengandalkan ketajaman mataku saja. Dapat kurasakan tanah yang kuinjak berlumpur siap menggelincirku, dan sepanjang jalan yang kulalui ternyata penuh dengan lubang-lubang sebesar kolam renang yang dalamnya ± 5 meter. Aku takut tergelincir dan jatuh ke dalam salah satu lubang gelap itu, dimana takkan ada satu orangpun yang dapat menolongku.

Ketika aku mulai kesal, lelah dan hampir menangis ketakutan karena merasa jalan ini tidak berujung, tiba-tiba dari jauh kulihat cahaya lampu kuning remang-remang di depan pintu bercat hijau pastel sebuah rumah kecil. Segera itu kukenali sebagai rumah salah seorang tetangga.

Aku bergegas menghampiri rumah itu. Kuketuk pintu dengan takut-takut. Terdengar jawaban tetangga ku, “Masuk aja, Mbak.”

Ketika aku masuk, aku berada di satu-satunya ruangan dalam rumah itu. Dindingnya berwarna putih, lantainya marmer putih mengkilat, lampunya berwarna kuning lembut menerangi seluruh ruangan. Beberapa pot tanaman palem menghiasi sudut ruangan. Tiba-tiba aku sadar, ternyata ada tiga tangga di ruangan itu. Di hadapanku, di samping kiri dan kananku. Aku seperti ada di persimpangan jalan. Ketika aku mencari-cari, kudengar suara tetanggaku, “Naik aja langsung, Mbak.”

Entah kenapa, kupilih menaiki tangga sempit di samping kananku. Aku naik, naik, dan terus naik tanpa henti.. Aneh! Tak kudapati satu ruangpun. Tangga itu melingkar-lingkar sampai ke atas. Semakin aneh kupikir, karena dari luar tadi rumah ini terlihat kecil dan tidak bertingkat.

Entah sampai di anak tangga yang ke berapa ratus, saat aku bertambah lelah, akhirnya aku menemukan sebuah ruangan. Aku berdiri di luar jendela ruangan itu. Samar-samar kudengar suara seorang pria sedang berbicara… tidak, dia sedang mengajar. Kulihat melalui sela-sela tirai jendela, tampak beberapa orang pria, kurang lebih sekitar 10 orang berjubah pendeta jaman kuno, berwarna coklat tua dan bertudung kepala, sedang duduk serius di bangku berderet-deret. “Oh, ternyata itu adalah ruang kelas. Tapi, aneh… kenapa ada kelas di rumah ini?” Pikirku. Karena kelelahan dan mengantuk, akhirnya aku beringsut duduk di lantai di bawah jendela dan tertidur.

Tak lama kemudian, aku terbangun karena dikejutkan oleh sebuah sinar yang terarah tepat di wajahku. Kubuka mata, “Aduh silaunya”. Langsung kulindungi mataku dengan kedua tanganku. Ternyata salah satu pendeta pria itu sedang berjongkok di depanku sambil menenteng sebuah lentera. Kucoba memfokuskan pandanganku, dan kulihat dia tersenyum padaku seraya mengangguk seolah menyapaku. Aku merasa terganggu oleh cahaya lentera itu. Sangat terang dan menyilaukan, lebih terang dari matahari, namun tidak panas ataupun menyakitkan. Seolah tersadar, pria itu segera mengangkat salah satu tangannya di atas lentera itu, dan sinar itupun padam.

Aku segera bangkit berdiri ketika dia mulai beranjak pergi. Lalu kulihat pria-pria lainnya keluar dari ruang kelas itu, masing-masing membawa lentera dan sebuah buku tebal. Mereka berjalan sambil bercakap-cakap satu dengan yang lain. Saat melewatiku, mereka mendadak berhenti, menatap dan tersenyum penuh makna yang tak kumengerti, sebelum akhirnya berlalu dari hadapanku. Pelan-pelan aku beranjak ke pintu kelas. Kulihat seorang pria sedang bermain-main dengan lenteranya. Saat dia mengangkat tangan, lentera itu menyala. Saat dia menurunkan tangan, lentera itu padam. Begitu seterusnya. Seolah merasa sedang diperhatikan, dia pun menoleh ke arahku. Dia tersenyum ramah dan menghampiriku. Dia mengangguk menyuruhku masuk sebelum akhirnya melangkah pergi. Sepertinya kedatanganku sudah ditunggu.

Kupandangi seluruh ruangan itu. Tidak terlalu besar, namun terasa hangat dan nyaman. Kelas itu seperti ruangan laboratorium dengan meja marmer di sekeliling ruangan, menempel dengan tembok. Ada beberapa deret bangku kayu panjang. Di depan kelas ada papan tulis dan… meja guru. Tiba-tiba jangtungku berdegup lebih kencang dan kurasakan mataku membelalak kaget ketika mendapati ada seorang pria duduk di meja guru sedang membaca. Tapi, aku tidak dapat melihat wajahnya, terhalang sinar yang memancar dari buku yang dibacanya. Sinar itu lebih kuat dari sinar lentera yang kulihat tadi. Tiba-tiba pria itu berdiri dan melangkah ke tengah, menghadap ke arahku.

Aku takkan pernah melupakan wajah itu seumur hidupku. Rambutnya ikal sebahu berwarna kuning keemasan yang sangat indah. Jubahnya sampai ke kaki, putih berkilauan. Awalnya aku tak dapat melihat wajahnya. Wajahnya bersinar terlalu terang… lebih terang dari matahari, lentera dan sinar buku tadi. Tapi, aku sama sekali tidak silau. Sinar terang yang lembut, penuh dengan kemuliaan dan kekudusan. Tiba-tiba dia tersenyum kepadaku.

Aku terpaku di tempatku. Tubuhku mulai gemetar, air mataku mulai mengalir deras, jantungku berdetak semakin cepat, dan lututku mulai lemas saat mengenali sosok di hadapanku. Dia persis seperti yang banyak kulihat di gambar, poster dan kudengar dari cerita ibuku, yang tidak pernah kupercayai keberadaannya dan kulecehkan seluruh kemampuannya. “Yesus…” jerit mulutku tanpa sadar. Langsung kututup mulutku dengan tanganku.

“Apakah kau takut padaKu?’ tiba-tiba Dia bertanya padaku, sambil tersenyum. Suaranya lembut meneduhkan.

Aku menggelengkan kepala, tak mampu berkata apa-apa.

Dia membuka kedua lenganNya lebar-lebar, tersenyum penuh kasih dan berkata kepadaku, “Kemarilah”

Aku tahu benar, aku tidak dapat menghindar. SuaraNya seperti menghipnotisku. Segenap keberadaanku seolah bersatu menggerakkan kakiku melangkah mendekatiNya. Tiba-tiba aku rasakan seperti ada kekuatan maha besar menghancurkan tembok-tembok tebal dalam pikiran dan jiwaku selama 16 tahun kehidupanku. Beban berton-ton sepanjang kehidupanku tiba-tiba runtuh semuanya. Hatiku tiba-tiba dipenuhi dengan kelegaan dan kerinduan yang amat besar. Tubuhku berguncang-guncang karena tangisku semakin keras, seolah jiwaku menjerit kepadaNya, “Aku sangat lelah… aku kesepian… aku sendirian… kenapa saat-saat ini begitu lama datangnya?”

Ketika Dia merengkuhku ke dalam pelukanNya, seluruh keberadaanku dipenuhi dengan kasih dan kedamaian sampai melimpah. PelukanNya begitu kuat, namun hangat dan lembut seperti… seorang Bapa yang sempurna.

Kemudian Dia berjalan ke mejanya, mengangkat tanganNya ke atas buku yang dibacaNya tadi, sehingga sinar dari buku itu padam. Kemudian diambilNya buku itu dan kembali ke arahku. DibimbingNya aku ke sebuah bangku, kami duduk berdampingan. DihapusNya air mataku, dipandangiNya aku lekat-lekat seolah-olah Dia begitu merindukanku dan telah menantiku begitu lama. DibelaiNya rambutku dengan penuh kasih, kemudian mulai membuka buku yang dibawaNya dan mulai bercerita tentang rahasia isinya dengan penuh semangat. Ternyata, buku itu adalah Alkitab.

Kupandangi seluruh wajahNya dari dekat. Seperti ada kilauan bintang di rambutNya. KetenanganNya begitu kuat, namun aku yakin pasti itu mampu menjungkirbalikkan seluruh semesta hanya dengan sekali kedipan mata. Dan kelembutanNya, walaupun disangsikan musuh-musuhNya, aku sangat yakin itu mampu membinasakan seluruh iblis yang berusaha menjauhkanNya dari anak-anak kesayanganNya dengan sekali hembusan nafas.

Aku dulu tak pernah mempercayai “siapa” diriNya. Aku dulu menertawakan semua ajaranNya, bahkan melecehkan pribadi mauapun kuasaNya. Bagiku, semua pengagumNya terlalu mengada-ada. Mempercayai sesuatu yang tidak masuk akal, kebenaran yang tidak bisa dimengerti secara logika, menangis untuk sebuah “drama” pengorbanan cinta… seperti roman picisan. Penipu ulung yang berani-beraninya menyetarakan diriNya dengan Tuhan. Aku sangat benci Dia.

Tapi, jauh dalam hatiku, aku seperti berjaga-jaga terhadapNya. Entahlah, Dia seperti punya kekuatan yang tak dapat dibendung oleh kuasa apapun di bumi maupun sorga. Dan Minggu siang itu, adalah awal aku.. MENGALAMI sendiri kuasaNya.

Yesus benar-benar ada. Percaya atau tidak, masuk akal atau tidak, kita terima atau tolak, Dia benar-benar ada, hidup, dan bergerak di antara kita sampai hari ini dan selamanya. Ya! Pribadi maupun kuasa Yesus memang tidak dapat dipahami sebatas akal pikiran manusia, karena Dia memang lebih dari batas jangkauan pikiran manusia, sebab Dia tidak berasal dari dunia.

Tapi, saat kita benar-benar rindu, membuka hati dan mengundangNya, Dia sendiri yang akan membuat kita dapat memahami Dia. Ketika hal itu terjadi, hidup kita takkan pernah sama lagi. Hidup kita mungkin tidak selalu mulus, tapi kita akan tahu, bahwa Dia selalu bersama kita, untuk memenangkan semua pertarungan dalam kehidupan. Aku sudah memilih jalanku. Bagaimana denganmu? Jika hari ini Yesus memanggilmu, jangan menghindar atau ragu. Itu memang Dia. Hatimu akan tahu, bahwa hanya Dia satu-satuNya Tuhan yang hidup dan bergerak di antaramu yang mampu melakukan itu. (l@)

No comments: