FOKUS KITA - 19 Oktober 2008
Di jaman ultra modern ini nilai persahabatan mulai luntur. Seiring kemajuan teknologi dan daya pikir, manusia lebih cenderung untuk memilih mesin atau robot sebagai sahabatnya daripada sesamanya manusia. Tetapi, sesungguhnya tidak dapat dipungkiri bahwa setiap manusia sebenarnya masih saling membutuhkan satu dengan yang lain. Bahkan, orang atheis juga masih menganggap bahwa persahabatan itu perlu, hanya saja nilai-nilai persahabatan itulah yang mulai luntur. Krisis ketidakpercayaan terhadap orang lain semakin meningkat, sehingga orang lebih cenderung hidup bagi dirinya sendiri.
Suatu hari dua orang sahabat karib pergi berlayar menuju suatu tempat. Di tengah perjalanan, kapal tiba-tiba mengalami musibah dan seluruh penumpang berebut menyelamatkan diri. Tetapi, sekoci penyelamat yang tersedia jumlahnya terbatas. Akhirnya, nahkoda mengambil keputusan untuk mengundi siapa yang dapat masuk sekoci. Penumpang yang mendapat kertas bertuliskan “sekoci” yang dapat naik sekoci. Sebaliknya, jika kertas tersebut kosong, berarti penumpang tersebut tidak dapat naik sekoci. Ternyata dua orang sahabat karib itu hanya satu yang bisa naik sekoci. Betapa sedih hati mereka. Tiba-tiba sahabat yang mendapatkan kertas bertuliskan sekoci memberikan kertas itu kepada sahabatnya. Ia rela mati supaya sahabatnya tetap hidup, sebab sahabatnya itu masih memiliki orang tua yang harus dirawat, sedangkan ia hanya sebatang kara. Ia tidak ingin membiarkan sahabatnya itu mati karena orang tua dan sanak saudaranya akan sangat kehilangan dia.
Firman Tuhan berkata, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” (Yoh. 15:13). Persahabatan membutuhkan sikap rela berkorban. Sahabat lebih dari seorang teman. Sahabat rela melakukan apa saja yang terbaik demi sahabat yang dikasihinya. Tidak ada persahabatan tanpa ada pengorbanan.
Seorang sahabat bahkan bisa menjadi seperti saudara kandung. Ia bisa turut merasakan susah dan senang satu sama lain. Amsal 17:17 mengatakan: “Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.” Ketika salah satu sahabat menangis, maka yang satunya juga ikut merasakan. Biasanya hal ini terbukti jika mereka sama-sama senasib sepenanggungan. Artinya, pada waktu dan tempat yang sama, mereka dapat merasakan hal yang sama pula. Contoh: 2 orang sahabat yang tinggal dalam satu asrama. Suatu malam setelah belajar mereka merasa lapar dan ingin makan, namun tidak ada makanan. Sahabat yang satu hanya memiliki 1 bungkus mi instan. Akhirnya 1 bungkus mi instan itu dimasak dan dimakan bersama-sama. Bayangkan, sebungkus mi instan yang sebenarnya hanya untuk 1 orang dibagi menjadi dua, pasti tidak mengenyangkan. Tetapi, kasih persahabatan telah mengikat mereka. Sahabat saling berbagi hidup dalam susah maupun senang, seperti saudara yang sebenarnya.
Seorang sahabat harus bisa menjadi seorang penolong yang sejati. Dia tidak hanya pandai mengumbar janji akan menolong jika sahabatnya dalam kesulitan, namun berani bertindak nyata untuk memenuhi janjinya. Ada seorang anak pergi bersama 4 orang temannya untuk berenang. Sampai di kolam anak tersebut langsung terjun untuk berenang. Tetapi, musibah terjadi. Kaki si anak kram dan ia berteriak minta tolong ketika ia mulai tenggelam. Teman pertama melemparkan buku tentang cara-cara menyelamatkan diri dari bahaya tenggelam. Teman kedua melemparkan sebuah ban pelampung sambil berteriak: “Ambillah ban itu, agar kamu selamat!” Teman ketiga berlutut di pinggir kolam. Mulutnya komat-kamit, ia berdoa. Sementara teman keempat langsung membuka pakaiannya dan terjun ke kolam dan membawa temannya yang hampir pingsan karena tenggelam itu naik ke pinggir kolam. Ia memberikan bantuan pernapasan lalu membawanya ke rumah sakit. Siapakah penolong sejati di antara 4 anak tersebut? Tentu yang ke-4. Ia langsung bertindak memberikan pertolongan.
Sudah saatnya kita kembali menerapkan nilai-nilai persahabatan yang sejati. Jangan lagi ada di antara kita yang mementingkan diri sendiri, atau bahkan menggunakan orang lain untuk memuaskan ambisi pribadi kita, namun tulus adanya. Kita saling membutuhkan satu sama lain, bukan untuk saling memperalat demi ambisi pribadi, melainkan saling mendorong untuk memunculkan yang terbaik dari dalam diri satu sama lain untuk bertumbuh dan berfungsi maksimal menjadi jawaban bagi dunia yang membutuhkan sahabat yang dapat membawa kepada keselamatan. Kita tidak dapat hidup sendiri. Kita membutuhkan orang lain. (you)
Sunday, October 19, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment