Saturday, October 4, 2008

Footprints

INSPIRATIONAL STORY

Tahukah Anda cerita di balik terciptanya sajak 'FOOTPRINTS' (telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Jejak-jejak Kaki)? Sajak tersebut telah menyentuh hati jutaan orang di seluruh dunia. Namun, tidak banyak orang mengetahui siapa pengarangnya. Juga tidak banyak orang tahu latar belakang lahirnya sajak itu. Sajak “Footprints” sebenarnya adalah buah pena masa berpacaran di suatu senja di tepi danau.

Pengarang sajak itu adalah Margaret Fishback, seorang guru sekolah dasar Kristen untuk anak-anak Indian di Kanada. Margaret mempunyai tubuh yang sangat pendek dan kecil untuk ukuran orang Kanada. Tinggi badannya hanya 147 cm. Tubuhnya ramping dan wajahnya halus seperti anak kecil. Karena itu, walaupun sudah dewasa dan menjadi ibu guru, ia sering diberi karcis untuk anak-anak jika berdiri di depan loket atau sewaktu naik bis.

Margaret dibesarkan dalam keluarga yang bersuasana hangat dan penuh kasih, namun beberapa peristiwa hidupnya terasa pahit dalam kenangannya. Yang pertama adalah pengalamannya ketika ia menjadi murid kelas satu sekolah dasar. Ia mempunyai kenangan buruk tentang gurunya. Margaret berlogat Jerman karena ayahnya berasal dari Jerman. Setiap kali Margaret melafalkan sebuah kata Bahasa Inggris dengan logat Jerman, jari-jari tangannya langsung dipukul oleh gurunya dengan sebuah tongkat kayu. Setiap hari jari-jari tangan Margaret memar kemerah-merahan. “Jangan bicara dengan logat Jerman. Pakai logat yang betul, kalau tidak... !” Itulah ancaman dan amarah yang didengar Margaret setiap hari. Ia sungguh takut. “Tiap hari aku berangkat ke sekolah dihantui oleh rasa takut. Aku heran mengapa aku dimarahi. Apa salahku? Apa salahnya orang berbicara dengan logat Jerman? Baru kemudian hari aku tahu bahwa pada masa itu sedang berlangsung Perang Dunia II, dimana Jerman dibenci Amerika dan Kanada,” ucap Margaret mengenang masa kecilnya.

Kenangan pahit lain yang diingat Margaret adalah tentang dua teman perempuannya di kelasnya. “Aku akrab dengan semua teman dan mereka senang bermain dengan aku, kecuali dua orang teman perempuan yang kebetulan berbadan besar. Kedua teman itu sering menjahati aku. Untung ada seorang teman laki-laki yang selalu melindungi aku. Namun, pada suatu hari teman laki-laki itu tidak masuk ke sekolah. Lalu kedua teman perempuan yang berbadan besar itu menjatuhkan aku dan duduk di atas perutku sambil menggelitiki aku. Aku kehabisan nafas. Untung ada orang yang tiba-tiba lewat sehingga aku dilepas. Aku lari ketakutan sampai terjatuh dan pingsan. Selama beberapa hari aku terbaring sakit, dan selama beberapa bulan aku masih ketakutan,” kenang Margaret.

Saat beranjak dewasa, Margaret juga mempunyai pengalaman yang menakutkan. Pada suatu siang yang bercuaca buruk, ketika sedang mengajar di kelas, tiba-tiba jendela terbuka dan petir menyambar sekujur tubuh Margaret. Ia jatuh terpental di lantai. Setelah dirawat di rumah sakit, ia tetap mengidap penyakit yang tidak tersembuhkan. Urat syarafnya terganggu sehingga ia sering bergetar.

Bukan mustahil semua pengalaman buruk itu turut mewarnai lahirnya sajak 'Jejak' ini, yang dikarang oleh Margaret ketika ia sudah mempunyai tunangan yang bernama Paul.

Hari itu Margaret dan Paul berangkat menuju suatu tempat perkemahan di utara Toronto untuk memimpin retret. Di tengah perjalanan, mereka melewati danau Echo yang indah. “Mari kita berjalan-jalan di pantai,” usul Margaret. Dengan semangat mereka melepaskan sepatu lalu berjalan bergandengan tangan di pantai yang berpasir.

Ketika mereka kembali dan berjalan ke arah mobil mereka, dengan jelas mereka mengenali dua pasang jejak kaki mereka di atas pasir pantai. Namun, di tempat-tempat tertentu gelombang air telah menghapus satu pasang jejak itu. “Hai Paul, lihat, jejak kakiku hilang,” seru Margaret. “Itukah yang mungkin akan terjadi dalam impian pernikahan kita? Semua cita-cita kita mungkin akan lenyap disapu gelombang air,” ucap Margaret lirih.

“Jangan berpikir begitu,” protes Paul. “Aku malah melihat lambang yang indah. Setelah kita menikah, yang semula dua akan menjadi satu. Lihat itu, di situ jejak kaki kita masih ada lengkap dua pasang.” Mereka berjalan terus. “Paul, lihat, di sini jejakku hilang lagi.'”

Paul menatap Margaret dengan tajam, “Margie jalan hidup kita dipelihara Tuhan. Pada saat yang susah, ketika kita sendiri tidak bisa berjalan, nanti Tuhan akan mengangkat kita. Seperti begini.” Kata Paul sambil mengangkat tubuh Margaret yang kecil dan ringan itu dan memutar-mutarnya.

Malam itu setibanya mereka di tempat retret, Margaret yang adalah pengarang kawakan menggoreskan pena dan menuangkan ilham pengalamannya tadi di pantai. Kalimat demi kalimat mengalir. Dicoretnya sebuah kalimat, diubahnya kalimat yang lain. Ia berpikir, menulis, termenung, mencoret, menulis lagi, termenung lagi, mencoret lagi.......Seolah- olah bermimpi, dalam imajinasinya ia merasa berjalan bersama dengan Tuhan Yesus di tepi pantai. Ketika berjalan kembali ia melihat dua pasang jejak kaki, satu pasang jejaknya sendiri dan satu pasang jejak Tuhan… dan seterusnya. Margaret melihat lonceng. Pukul 3 pagi! Cepat-cepat diselesaikannya tulisannya, lalu ia tidur. Keesokan harinya, begitu bangun, ia langsung membaca ulang tulisannya. Ah, belum ada judulnya. Margaret berpikir sejenak lalu membubuhkan judul 'Aku Bermimpi'. Ia mengubah beberapa kata dan kalimat. Dan lahirlah sajak yang sekarang kita kenal dengan judul 'Jejak-jejak Kaki'.

Pada hari itu juga dalam kebaktian, sajak itu dibacakan Paul. Paul berkata, “Ada saat di mana kita merasa seolah-olah Tuhan meninggalkan kita. Musibah menimpa kita dan jalan hidup kita begitu sulit. Kita bertanya mengapa Tuhan tidak menolong kita. Sebenarnya Tuhan sedang menolong kita. Tuhan sedang mengangkat kita.” Lalu Paul membacakan sajak karya Margaret:

JEJAK-JEJAK KAKI

Suatu malam aku bermimpi
Aku berjalan di tepi pantai dengan Tuhan
Di bentangan langit gelap tampak kilasan-kilasan adegan hidupku
Di tiap adegan, aku melihat dua pasang jejak kaki di pasir
Satu pasang jejak kakiku, yang lain jejak kaki Tuhan.
Ketika adegan terakhir terlintas di depanku
Aku menengok kembali pada jejak kaki di pasir.
Di situ hanya ada satu pasang jejak.
Aku mengingat kembali bahwa itu adalah bagian yang tersulit
dan paling menyedihkan dalam hidupku.
Hal ini menganggu perasaanku,
maka aku bertanya kepada Tuhan tentang keherananku itu.
"Tuhan, Engkau berkata ketika aku berketetapan mengikut Engkau,
Engkau akan berjalan dan berbicara denganku sepanjang jalan,
Namun ternyata pada masa yang paling sulit dalam hidupku
hanya ada satu pasang jejak.
Aku tidak mengerti mengapa justru pada saat aku sangat membutuhkan Engkau,
Engkau meninggalkan aku?"
Tuhan berbisik, "Anakku yang Kukasihi, Aku mencintai kamu
dan takkan meninggalkan kamu pada saat sulit dan penuh bahaya sekalipun.
Ketika kamu melihat hanya ada satu pasang jejak,
itu adalah ketika Aku menggendong kamu."

Seluruh peserta retret duduk terpaku mendengarnya. Mereka termenung menyimak kedalaman arti yang terkandung sajak itu. Sekarangpun tiap orang termenung setiap kali membaca sajak itu. Sajak itu mengajak kita menelusuri perjalanan hidup kita. Dalam perjalanan itu telapak kaki kita dan telapak kaki Tuhan Yesus membekas bersebelahan. Tetapi pada saat-saat dimana musibah menimpa dan perjalanan menjadi sulit serta berbahaya, ternyata yang tampak hanya telapak kaki Tuhan. Telapak kali kita tidak tampak, padahal telapak kaki Tuhan membekas dengan jelas. Mana telapak kaki kita? Telapak kaki kita tidak ada, sebab pada saat-saat seperti itu kita sedang diangkat dan digendong Tuhan.

Sumber: internet

No comments: